Halaman

Today

0 komentar

I feel so bad..
I don't know what I have to do..
I need someone, but..
Haduuuh.. Pernah ga sih kalian tuh merindukan seseorang yang sebenarnya sudah ga boleh untuk dirindukan, apalagi buat ketemu. Rasanya kok sesak banget ya? Itu yang lagi aku rasain. Entah kenapa akhir-akhir ini aku tuh merindukan sekali seseorang yang sudah ga mungkin sekali aku temui, aku hanya bisa mengenangnya dan mengingat-ingat masa lalu ketika dia masih ada. Ingin sekali rasaku buat menemuinya, kuingin memeluknya, bersenda gurau bersamanya, berbincang-bincang tentang cita-cita dan harapan, pokoknya banyak sekali lah.
Ya Allah.. obatilah rinduku ini.

License for Killing Ayam...

0 komentar

Aku tertawa geli membaca status seorang teman di salah satu situs pertemanan. Isinya kurang lebih begini ;


Ada yang tau nggak di mana bisa ngedapetin license for killing "ayam"?


Tadinya aku nggak ngerti "ayam" yang dimaksud temanku adalah ayam dalam arti sesungguhnya atau ayam dalam arti penjaja seks komersial. Untuk membunuh ayam dalam arti sebenernya nggak mesti pake ijin segala khan ya. Kecuali ayam milik tetangga, tentunya. Wahaha


Aku jadi "ngeh" sambil ketawa guling guling setelah baca komentar di bawahnya, yang semuanya dari kaum perempuan. Isinya, tentu saja mendukung pembasmian para "ayam". Hanya cara menyampaikannya yang lucu. Berapi api, penuh esmosi.


Solidaritas perempuan yang mungkin pernah terluka karena "ayam" atau yang merasa nggak nyaman dan terancam akan ke-eksis-an "ayam". Ditambah para komentator tersebut mungkin sedang mengalami PMS. Membuatku serasa membaca selebaran dari organisasi tertentu yang menghimbau massa-nya membakar tempat tempat yang dianggap maksiat.


Bukan berarti aku nggak simpati dengan temanku dan para komentatornya. Aku ngerti banget yang mereka rasakan.

Disaat sedang asyik tidur nyenyak

0 komentar

Ketika aku sedang asyik2nya bermimpi tiba2 aku mendengar suara beberapa orang sedang ngobrol satu sama lain, hmmm... hiks ternyata aku sudah terbangun dari mimpi tidurku dan suara itu berasal dari 4 orang yang gak jelas pada ngapain. Ada yang lagi asyik2nya chat, weks... jam segini masih chat? mangnya gak ada hari esok apa? huehuehue…ada juga yang lagi ngoprek2 laptop, duh kok lembur sampe jam segini seh? ada yang lagi asik nonton DVD di laptopnya dan yang terakhir gak jelas pastinya lagi ngapain.

Duh konco2ku, gak bisakah kalian coba untuk memejamkan mata kalian? Asyyemm... BRISIK TAU aku gak bisa tidur arhhhhhhhh mau nyekek kalian berempat rasanya. Dengan rasa malas akhirnya aku pun bangun dari tempat tidurku dan kulihat di layar monitor laptopku sudah penuh dengan pm-an orang yang menganggap aku blom tidur "oya ternyata saya lupa men-sign out YM-ku.

Dan aku pun ikut2an gak bisa tidur akhirnya saya meng-upgrade blogku aja.

Ya gini deh kegiatan kami di kantor, jauh dari orang2 terdekat kami akhirnya laptop pun jadi pacar setia kita2 yang selalu bisa menemani kami jika gak bisa sare (klo kata orang jawa) maklum selama hidup bersama dengan kawan2 kerjaku yang rata2 berasal dari desa :)

Huammmm aku mulai ngantuk lagi kayaknya aku mo coba tidur lagi deh dengan di iringi lagu2 lawasnya DEWA 19. ah tidur ah… dua hari ini aku kurang tidur, Hadoooh... Remeek...

Menyukai Milik Orang Lain

6 komentar

Dimulai beberapa minggu yang lalu, seorang teman di Facebook tiba-tiba mengirim pesan pribadi yang isinya “apakah kamu pernah menyukai milik orang lain?”.


Dengan asumsi bahwa yang dimaksud “milik” di sini adalah seorang manusia. Maka aku menjawab “pernah”.


Akhirnya sesi kirim-kiriman pesan yang terjadi antara aku sama teman ini jadi seperti curhat curian, yang nyempil diantara beragam pesan, aplikasi dan notifikasi lain di Facebook.


Mungkin karena si teman ini seorang perempuan, dia lebih cenderung ke pikiran baru ke hati, sementara yang aku rasakan malah sebaliknya.


Menyukai milik orang lain memang bukan sebuah tindakan yang benar. Bahkan dalam agamaku, ada larangan yang spesifik tentang “menyukai milik orang lain”. Tapi apa yang bisa kita lakukan bila ini terjadi? Karena kita sedang melawan perasaan.


Masalahnya ini bukan hal yang bisa dikontrol sepenuhnya dengan pikiran, tapi akhirnya juga akan melibatkan hati, seperti yang terjadi sama teman di FB itu.


Meskipun dia berusaha menggunakan otaknya, dengan kesadaran penuh bahwa yang disukainya adalah milik orang lain, sehingga otomatis dia tidak bisa berbuat banyak, tapi perasaan yang katanya seperti teriris, apa bisa dikontrol?


Aku sendiri pernah menyukai “milik” orang lain beberapa tahun yang lalu. Tapi selalu ada kesadaran bahwa itu milik orang lain dan aku tidak berhak atasnya, bagaimanapun, untuk merebut si “milik” ini.


Meskipun dengan keyakinan penuh bahwa aku jauh lebih baik, aku jauh lebih sempurna untuk menjadi pemiliknya, tapi juga dengan sebuah pemahaman bahwa dia sebagai “milik” sudah memilih untuk dimiliki oleh orang lain itu dan bahwa mungkin mereka malah saling menyempurnakan dan mengisi, bagaimana mungkin aku punya nyali untuk merebut posisi sebagai pemilik?


Seperti yang dikatakan si teman di FB, memang terasa sangat sakit. Untuk berada di luar lingkaran dan selalu menjadi seorang “yang lain”. Bahkan jika mungkin, ingin rasanya menarik hati ini keluar lalu mengirisnya dan masih akan terasa jauh lebih tidak menyakitkan dibanding yang mesti dirasakan dengan kondisi yang ada.

Kisah sobat perempuanku....

0 komentar

Masih ingat betul bagaimana nada suaranya begitu panik dari seberang sana. Sobatku itu setengah berteriak dari ujung gagang teleponnya. Alamatnya palsu, Mas. Dia ngasih alamat palsu. Ngga ada yang kenal nama dia di sini," begitu ia terisak. Padahal perempuan itu sudah menempuh jarak Surabaya-Bali dengan uang pas-pasan. Kondisi fisiknya pun lemah. Hamil 5 bulan. Siapa gerangan yang dicarinya di Bali, pulau dimana ia tak punya kenalan seorang pun itu? Ayah dari bayi yang dikandungnya. Tak lama kemudian telepon tadi terputus. Pesanku terakhir saat itu adalah, "Cepet balik ke Surabaya!! Buruan!".


Enam bulan kemudian, aku bertemu dengannya dalam keadaan kurus dan pucat, kini bayinya sudah berumur 2 bulan dan mengidap kelainan paru-paru. Dia harus menanggung semua biaya yg diderita bayinya tanpa seorang suami.


Kalau sudah begini, layakkah kita percaya cinta itu ada?

PSIKOLOGI DAN MATERIALISME DIALEKTIK

0 komentar

Karya ini ditulis pada tahun 1951 dan dipetik dari ‘Psychologie et materialisme dialectique’ dalam The World of Henri Wallon (Aaronson, 1984).

Adalah psikologi sesuatu sains? Soalan ini seringkali diutarakan oleh ahli-ahli teori borjuasi. Ia mempunyai dua maksud: Adakah psikologi mempunyai objek dalam dunia benar yang berkenaan dengannya? Adakah objek psikologi sejajar dengan determinisme saintifik?

Auguste Comte, iaitu bapa positivisme, telah menjawab soalan pertama dalam cara negatif. Bagi dia, seorang individu hanyalah sesuatu makhluk biologi, di mana kajiannya yang betul adalah jajahan fiziologi, dan sesuatu makhluk sosial, yang dapat dijelaskan secara kolektif oleh sosiologi – dua jenis determinisme di antara mana umat manusia disingkirkan kepada kekosongan.

Hipotesis kedua adalah hipotesis Bergson dan pengikut-pengikutnya serta, pada zaman kita, hipotesis pihak eksistensialis. Sains, mereka mengatakan, adalah koleksi konstruk-konstruk yang mungkin mempunyai sesuatu kegunaan praktikal tetapi yang memesong, mengotori dan merosakkan realiti. Realiti adalah apa yang dialami secara langung, atau dirasai, oleh setiap orang; fikiran, dengan mendedahkan diri kita kepada diri kita sendiri, juga mendedahkan dunia kepada kita. Angkasa maya yang kita bayangkan sebagai sesuatu yang dapat dibina pada dasar fikiran ini hanyalah koleksi sistem-sistem rambang yang menghampakan sifat spontan kita. Dalam cara ini, kita dialienasi daripada kebebasan kita. Satu-satunya kebenaran adalah itu yang meluahkan inti kewujudan kita – iaitu, ulangan berterusan, tidak dapat diramalkan, unik dan tidak dapat dibandingkan, bagi impresi, perasaan atau imej yang muncul tanpa akhir dalam kesedaran kita. Oleh kerana penerusan ini mengetepikan apa-apa bentuk determinisme, yang tidak rasional menjadi dasar kewujudan. Dalam nama kebebasan mutlak, setiap orang diabaikan kepada sesuatu takdir – sesuatu takdir yang, sememangnya, berhubung dengan kewujudan tertentu setiap orang, tetapi tidak kurang bersifat deterministik. Pendirian ini juga menganggap sesuatu jenis perlibatan pasif dalam kewujudan benda-benda yang muncul dari kewujudan kita sendiri – sejenis tanggungjawab yang tidak dapat dielakkan dan menakutkan bagi segala yang mungkin dihasilkan oleh reaksi kita, bagi mana kita tidak mempunyai kawasan mutlak. Kesan-kesan eksistensialisme ini telah diperkembangkan dengan mendalam oleh penulis Perancis iaitu Sartre. Ia adalah petanda negasi diri sendiri di kalangan kelas borjuasi yang semakin merosot dan bukti kereputannya. Negasi diri sendiri adalah terikat dengan idea-idea keluasanL dalam patalogi minda, idea-idea negasi peribadi dan keluasan peribadi sentiasa muncul bersama.

Unsur yang serupa kepada konsep positivis dan eksistensialis adalah konsep tidak berkuasa di kalangan individu, yang dihancurkan di bawah keperluan susunan semulajadi dan susunan sosial, yang memiliki sesuatu kehebatan berkenaan dengan angkasa maya, tetapi tanpa kuasa untuk mengubahkannya. Walaupun dia mengandunginya dan mempertimbangkannya, individu juga dikuasai oleh angkasa maya ini dan tidak dapat mencampur tangan dalamnya sebagai kuasa aktif di kalangan segala kuasa lain yang mendirikannya. Maka, keangkuhan individualisme borjuasi akhirnya terjerumus dalam kemandulan mutlak.

Kesan-kesan ini mengikuti secara tepat dari dua kesilapan yang didedahkan oleh Lenin (Materialisme dan Kritikan-Empirikal) dalam konsep sains borjuasi, yang kadang-kala bersifat mekanistik, kadang-kala bersifat idealistik, dan kadang-kala kedua-duanya sekali. Mekanisme menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang akahirnya dapat disingkirkan kepada unsur-unsur dan kesan-kesan asas, kepada hukum-hukum anadi yang tidak membenarkan perubahan, pembaharuan, mahupun kemajuan, dan kepada keperluan yang dapat diramalkan pada setiap masa oleh kepintaran yang cukup luas untuk mempertimbangkan angkasa maya secara menyeluruh. Idealisme bermula dengan pemikiran untuk menaklukkan realiti, mengajukan kesedaran sebelum realiti, dan menjadikan pemikiran prinsip asas kewujudan, maka mencuba untuk membelenggu dunia kepada penghuraiannya dan maka menghalang revolusi-revolusi. Pengakuan sebuah dunia yang sentiasa serupa dengan dirinya adalah titik di mana mekanisme dan idealisme bersatu.

Konsep sains dan angkasa maya yang statik diimbangkan oleh perbezaan khusus di kalangan disiplin-disiplin ilmu dan di kalangan objek-objek yang berpelbagai. Namun, Marx dan Engels telah mendesak aspek kesementaraan perbezaan-perbezaan ini, melihatnya hanya sebagai bergantung kepada batasan-batasan ilmu dan pada cara-cara teknikal yang dapat digunakan untuk mengkaji realiti. Sememangnya, perkembangan dan pergaulan pelbagai sains telah mengesahkan pandangan mereka. Namun demikian, batasan-batasan tertentu kekal pada hari ini dan kelihatan seperti tidak dapat diatasi. Maka, psikologi kadang-kala diklasifikasikan sebagai pertumbuhan dari biologi dan kadang-kala sebagai bilik sampingan bagi sains kemanusiaan. Bagi ramai orang, perbezaan dalam alam di antara biologi dan sains kemanusiaan seolah-olah mewujudkan jurang yang tidak dapat dilintasi di antara kedua-duanya. Oleh kerana sifat campuran psikologi ini, ia seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernilai dari segi saintifik. Tetapi oleh kerana ia mampu menghubungi dua bidang di mana metafizik reaksioner masih mengekalkan kekuasaan, psikologi menjadi sangat penting bagi dialektik.

Ulangtahun ke-seratus kelahiran Pavlov telah memberikan peluang bagi ilmiawan Soviet untuk menunjukkan keluasan dialektik usaha Pavlov. Buat masa yang lama, psikologi telah dianggap sebagai sesuatu yang mekanistik sepenuhnya. Pavlov mampu menghuraikan refleks yang dipelajari [conditioned reflex] dengan pengubahsuaian stimulus mengikut masa semata-mata. Namun, dia sendiri telah menotakan bahawa cara ini melintasi cara-cara fiziologi tradisional, yang mengkaji organisma dari segi fungsi demi fungsi – kitaran, penghadaman, dan sebagainya – setiap satu dengan reaksi-reaksi khusus dan stimulus yang juga khusus. Tetapi dengan refleks yang dipelajari, bukan sahaja batasan-batasan antara fungsi diatasi, malah aktiviti kefungsian juga dihubungkan dengan alam. Kepada stimulus yang khusus kepada reaksi kefungsian yang dijangka, stimulus lain yang mungkin dimiliki oleh apa-apa kawasan aktiviti berhubung dapat ditambah.

Ini adalah kesan lebih luas daripada apa yang Pavloc merujuk kepada sebagai aktiviti saraf tinggi, yang terletak dalam korteks serebrum – di mana hubungan-hubungan dibina di antar setiap aspek kehidupan organisma dan setiap stimulus yang mungkin bertindak padanya dari luas. Aktiviti saraf tinggi terikat kepada pengaturan sistem saraf: ia bukanlah aktiviti yang ditambah atau sampingan; sebaliknya, ia adalah asas dan penting. Ia bangkit dari kesatuan di antara organisma dan alam, lalu membekalkan organisma dengan sistem-sistem petanda yang membolehkannya berbalas dengan tepat kepada setiap keadaan. Kerana alam kepada mana organisma tersebut perlu berbalas bukan sahaja alam fizikal, tetapi juga alam di mana setiap organisma bergantung demi kewujudan. Bagi manusia, ia adalah alam yang dia sendiri telah menciptakan melalui aktivitinya dan yang meliputinya dari kelahiran – iaitu alam sosial.

Tetapi dalam interaksi-interaksi ini, pada setiap masa di bawah kawalam terpilih aktiviti saraf tinggi, di antara organisma dan alam, yang biologi bukanlah asing seluruhnya daripada yang sosial. Hubungan di antara kedua-duanya adalah utama dan asas. Ia bukanlah lagi sah untuk menentukan secara asing unsur-unsur kedua-duanya mengikut sifat tertentu masing-masing. Sesuatu proses terlibat di mana kedua-duanya, yang biologi dan yang sosial, adalah unsur-unsur setara. Penggantian unsur oleh proses ini, penggantian inti oleh aksi, adalah revolusi yang dialektik telah membawa dalam cara-cara pemikiran kita.

Interaksi bersama di antara organisma dan alam juga adalah bertentangan dengan mekanisme dan idealisme dalam segala bentuk. Ia adalah mustahil untuk menyesuaikannya dalam bingkai hubungan kajian yang mekanisme ingin mendirikan di antara unsur-unsur dan pelbagai kombinasinya. Interaksi di antara organisma dan alam memerlukan balasan-balasan yang tidak dapat diramalkan pada dasar unsur-unsur sendiri kerana ia mesti disesuaikan kepada keadaan-keadaan kebetulan dan maka dipaksa memperkembangkan bentuk-bentuk balasan yang baru.

Interaksi ini juga adalah bertentangan dengan idealisme, yang mencuba menaklukkan dunia benar kepada kesedaran kerana, bertentangan dengan idealisme, kesedaran tidak dapat menyusun susunan peristiwa-peristiwa yang menghadapinya dan menentukan atau memimpin balasan-balasannya. Akhir sekali, materialisme dialektik adalah bertentangan dengan eksistensialisme dan sifat indeterminisme-nya, kerana, sebenarnya, kehidupan mental kita sentiasa diubahsuai oleh keadaan-keadaan dengan mana ia berinteraksi, biarpun bersamaan dengan keinginannya atau bertentangan.

Tetapi hubungan-hubungan di antara organisma dan alam juga diperkayakan oleh fakta bahawa alam sendiri bukanlah sesuatu yang tidak berubah. Sesuatu perubahan dalam alam mungkin menghasilkan kepupusan atau perubahan organisma-organisma yang wujud di dalamnya.

Maka, ia menjadi peranan alam-alam yang berbeza, mengikut perbezaan-perbezaannya, untuk mengutarakan atau membawa ke hadapan kemampuan-kemampuan yang berbeza, yang sudah wujud dalam potensi, dalam sesuatu spesis atau individu. Maka, dalam sejarah umat manusia, sesuatu penggantian tamadun yang berbeza telah membawa pelbagai bentuk aktiviti. Materialisme bersejarah meluaskan dan memberikan makhota kepada materialisme dialektik. Dalam mengubah keadaan-keadaan kehidupannya, manusia mengubah dirinya sendiri. Cara-cara moden, untuk difahami, diperkembangkan, dan seringkali juga untuk diamalkan, memerlukan pengetahuan mengenai formula-formula abstrak, sistem-sistem simbol di mana imej-imej dunia benar digantikan oleh stimulus-stimulus yang menandakan operasi-operasi yang perlu dilakukan di tahap yang Pavlov menamakna sistem isyarat kedua – iaitu, sistem di mana stimulus yang dipelajari bukan lagi sesuatu sensasi, tetapi kata-kata, dan pengganti-pengganti abstrak bagi kata-kata: iaitu simbol-simbol matematik.

Dalam aktiviti manusia, pertuturan telah menjadi peralatan bagi sesuatu perubahan yang telah membawa pertututan dari sesuatu aktiviti otot semata-mata menjadi aktiviti teori, melibatkan pengubahsuaian operasi-operasi serebrum. Namun, ini tidak bermakna bahawa aktiviti kedua digantikan oleh yang pertama.

Melalui bahasa, sfera konsep telah mengdapat penyusunan dan struktur yang didasarkan pada sistem-sistem yang stabil, mantap dan logik. Impresi dan tindakan kita secara umumnya tamat, atau bermula dari, sfera ini. Tetapi walaupun ia menguasainya, ia belum menghapuskannya. Di bawah pemikiran konsep (perwakilan) masih terdapatnya utauan dan sikap-sikap yang seolah-olah menggariskan pemikiran perwakilan dalam kanak-kanak atau mereka yang lurus, dan yang membekalkan pemikiran perwakilan dengan batasan kasar pertama dalam bentuk upacara atau amalan (Wallon 1942). Upacara-upacara manusia kuno biasanya menarik dari sumber-sumber emosional luas, yang melesap sambil imej intelek muncul dalam minda mereka. Pemikiran intelek membantutkan pergolakan emosional. Tetapi emosionaliti masih kekal. Apabila dikandung, ia dapat bertindak sebagai pendorong; tetapi apabila ia berkuasa, ia memotong atau memesongkan pemikiran. Dalam cara ini, aktviti-aktiviti yang bertentangan memasuki konflik, walaupun satu pada mulanya mungkin bertumbuh dari yang satu lagi. Pendekatan dan tentangan ini adalah seiras dengan hukum-hukum dialektik Marxsis.

Ia adalah dialektik yang telah memberikan psikologi kestabilan dan maksud, dan yang telah menyelamatkan psikologi daripada alternatif materialisme asas atau idealisme gila, atau substantialisme kasar atau sifat tidak rasional tanpa harapan. Melalui dialektik, psikologi dapat menjadi sains semulajadi dan sains manusia pada masa yang sama, maka membasmikan perbezaan di antara kesedaran dan benda-benda yang keajaiban telah mencuba menekankan pada dunia. Dialektik Marxsis telah membolehkan psikologi untuk memahami organisma dan alamnya, dalam interaksi berterusan, sebagai sesuatu keseluruhan tunggal. Dan akhirnya, dalam dialektik Marxsis, psikologi mempunyai alat untuk menjelaskan konflik-konflik dari mana individu mesti memperkembangkan tingkahlaku dan memperkembangkan karenahnya.

Psikologi bukanlah sesuatu yang unik dari segi ini. Materialisme dialektik adalah penting bagi seluruh bidang keilmuan, serta bagi bidang aksi. Tetapi psikologi, iaitu sumber utama ilusi antropomorfik dan metafizik, mesti, lebih daripada mana-mana sains yang lain, mencari dasar biasa dan prinsip-prinsip panduan dalam materialisme dialektik.

Liberalisasi Islam dan Agenda Global Barat

0 komentar

Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.

Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal.

Binder menjelaskan: “Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action.” (Leonard Binder, 1988).

Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. (Greg Barton, 1999).

Liberalisme Dan ‘Fundamentalisme’

Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan ‘fundamentalis’. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dan lain-lain, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam. Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.

Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant, yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.

Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi’ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)

Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian.

Beliau menjelaskan:

The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history[i]. (Khurshid Ahmad, “[i]The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).

Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize The Moment. Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama: Orang yang membenci Barat. Kedua: orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga: orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat: orang yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).

Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim ‘fundamentalis’, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.

Sekularisasi Dan Depolitisasi Islam

Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430,000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.

Untuk melestarikan kekuasaannya, gerej` membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.

Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan (the dark age) ke era kebangkitan (renaissance) dan kemajuan.

Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy’; ulama tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal “institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.

Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan negara sekular. Secara intelektual, muncul nama ‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah. Menurutnya, Islam dan Rasulullah Saw sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja (spirituality) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).

Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah Saw. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).

Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan Shari‘at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama (rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan.” Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Shari‘at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah (clergy), institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari‘ah. Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena al-Qur’an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari‘at, dan bukannnya Islam ataupun Shari‘at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari‘ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God) in Contemporary Islamic Political Thought. ISTAC, UIAM, 2003):

Mawlana Mawdudi tries to explain the necessity for an Islamic state. He says that according to the Qur'an God is the Master of the world..Mawdudi maintains that over His own creation, over His own world, no one else has any right to rule; it will be fundamentally wrong. …We have already seen that even on matters of Shari‘ah there is no unanimity of opinion. It would therefore be very difficult to maintain that this is the meaning of the Qur'anic injunction and hence the Islamic state law in its light has to be so framed. Then there are those Muslim thinkers like Mawlana Azad who feel, not without justification from the Qur'an itself, that the Shari‘ah is not an integral part of the religious faith i.e. Din. If it is so one can hardly maintain that the Islamic state has to be based on Shari‘ah and that God's rule means enforcing Islamic Shari‘ah as formulated in the early Islamic period. And this is exactly what Mawlana Mawdudi means when he talks of God's rule being established on earth. God's rule in that case would mean Islamic Shari‘ah as formulated by Imam Abu Hanifah and as interpreted by Mawdudi or his lieutenants. In fact Mawdudi's approach is so rigid and his attitude so authoritarian that any state founded on his ideas would be a medieval dictatorship. (Asghar Ali Engineer, The Islamic State, 134-135).

Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam —aqidah dan syariahnya— dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a'lam.

FILSAFAT ILMU DALAM PERSPEKTIF QUR’AN

0 komentar

(Tafsir Ulang Epistemologi)

PENDAHULUAN

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36).

"Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu" (Ibn Khaldun, 2000: 669).

"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit" (Muhammad Iqbal, 1966, 129).

Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.


SUMBER ILMU

Jika ilmu diistilahkan sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).

Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.

Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan sebagai pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu sendiri bisa punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.

Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.

"Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya (Ghulsyani, 1990:54).

Al Qur’an sebagai kitab "tertutup" yang merupakan kondifikasi wahyu yang menurut teori-teori keilmuan yang tak terhingga penafsirannya sampai hari Qiyamat. Sedangkan alam semesta sebagai kitab "terbuka" yang tak terhingga pula untuk dieksperimen sampai hari Qiyamat. Dua sumber mata air (pengetahuan, ilmu dan teknologi), yang abadi dan tak pernah kering dalam konteks kehidupan keduniaan. Al Qur’an sebagai "kitab tertutup" dan alam semesta sebagai "kitab terbuka" saling memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.

Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu kepada Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.

Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa "Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun melengkapi pengetahuan eksperimental mereka" (Yusuf Al Qardhawy, 1997:101).


RASIONALITAS DAN SPIRITUALITAS DALAM ILMU

Berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam firman Allah (QS. 3: 191), artinya:

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.

Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitupun sebaliknya.

Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, di mana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah dikatakan dalam Al Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran dan ketakwaan, melainkan fenomena alam semesta yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka (QS 17: 94-100).

FILSAFAT ADALAH ENERGI DAN ILMU ITU CAHAYA

Filsafat adalah pemikiran, sedangkan ilmu adalah ‘kebenaran’. Gampangnya, filsafat ilmu adalah pemikiran tentang kebenaran. Apakah benar itu benar? Kalau itu benar maka berapa kadar kebenarannya.? Apakah ukuran-ukuran kebenaran itu? Di mana otoritas kebenaran itu? Dan apakah kebenaran itu abadi?

Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.

Filsafat itu ibarat energi dan ilmu itu umpama mesin listrik. Jika energi dipasok ke turbin mesin, maka mesin akan bekerja menghasilkan setrum yang dipakai untuk menyalakan lampu yang memancarkan cahaya.

Filsafat dan ilmu bahu-membahu mengusung kebenaran, namun kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagai proses yang tidak pernah selesai. Maksudnya, bahwa kebenaran yang didapatkan oleh filsafat dan ilmu tak pernah selesai dan terus berproses dan menjadi, yang dalam hukum dialektika (Thesis, Antithesis, Sinthesis) dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia, pemikirannya dan ciptaannya bersifat relatif. Sedangkan kebenaran itu sendiri identik dengan Pencipta kebenaran. Oleh karena itu, yang Maha Benar hanyalah Allah SWT (QS 34: 48)

Dalam filsafat illuminasi, "Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi, pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu, subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek" (Ziai, 1998: 13)


PENUTUP

Dalam konteks inilah, menurut hemat kami filsafat ilmu itu kiranya perlu dipelajari atau diajarkan di semua fakultas dan program studi khususnya di lengkungan UIKA, umumnya, di perguruan-perguruan tinggi, pada semester akhir untuk program S1 (sarjana). Karena filsafat ilmu bisa menjadi modal dasar untuk seorang calon sarjana, bagaimana cara ia mengaktualisasikan pemikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan keilmuan dan kehidupan dari tatanan teoritis sampai pada tataran aplikatif. Wallahua’lam bishshawab.


Daftar Pustaka

Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj. Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung: 1984

Audah, Ali, Konkordasi Qur’an, Litera antar Nusa, Mizan, Bogor, Bandung: 1997

Beerling dkk., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soedjono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta: 1986.

Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah Munawarah: 1411 H.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, Mizan, Bandung: 1990.

Ha’iri Yazdi, Mehdi, Ilmu Hudhuri, penerj. Ahsin Mohamad, Mizan, Bandung: 1994.

Iqbal, Muhammad, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, Tintamas, Jakarta: 1986.

Khaldun, Ibn, Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2000.

Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung: 2003.

Marasabessy, Yusra, (Kontributor), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung: 1987.

Qardhawy, Yusuf, As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 1998.

Syarif, M.M., (Editor), Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung: 1989.

Soemargono, Soedjono, Filsafat Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta: 1983.

Ziai, Hossain, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir, Zaman Wacana Ilmu, Bandung: 1990.

Reformasi Pendidikan dalam Perspektif Sekolah

0 komentar

Akhir-akhir ini para pakar pendidikan sibuk mencari konsep reformasi pendidikan.Bahkan pemerintah melalui Departemen Penidikan Nasional sampai membentuk sebuah komite yaitu Komite Reformasi Pendidikan. Komite tersebut tugas utamanya adalah melaksanakan revisi undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam era keterbukaan/era reformasi, bidang pendidikan tidak luput dalam ambil bagian mereformulasikan konsep pendidikan, sebab selama ini ada anggapan bahwa pelaksanaan pembangunan pendidikan telah mengalami deviasi. Sampai seberapajauh deviasi itu dapat diluruskan kembali?.Tentunya harus terlebih dahulu mengetahui di mana letak permasalahan bidang pendidikan selama ini.

Ada tiga hal permasalahan. bidang pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi. Pertama, rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan data studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara. Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud. Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memandirikan peserta didik khususnya dalam hal ekonomi. Dengan demikian dia mampu survive dalam kehidupannya yang akhirnya akan mempunyai kehormatan diri di tengah-tengah masyarakatnya. Sebab orang yang tidak mampu mandiri dalam hal ekonomi alias menganggur bukanlah orang yang mempunyai kehormatan diri.

Ketiga hal di atas, merupakan sasaran yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan melalui perspektif persekolahan. Kenyataannya ketiga hal tersebut sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Berangkat dari konteks ini, maka perspektif/kerangka persekolahan sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dalam merencanakan formula reformasi pendidikan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga strategis di dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, sekolah mau tidak. mau menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya. Hal ini, dikarenakan segala kebijakan di bidang pendidikan*muara pelaksanaannya berada di sekolah, sehingga maju mundurnya kualitas pendidikan tergantunf dari sejauhmana pengelolaan sekolah dilakukan baik yang menyangkut sarana dan prasarana, seperti gedung sekolah, kurikulum, guru, dan lingkungan sekitarnya.

Di dalam pengelolaan sekolah bukan hanya guru dan kepala sekolah yang ikut andil. Akan tetapi, peranan para pejabat yang duduk di birokrasi pendidikanpun yang note bene arsitek pendidikan harus ikut bertanggungjawab jika terjadi kemunduran pendidikan. Keberhasilan para pejabat di birokrat bukan hanya diukur dari keberhasilan proyek yang dikelolanya dan bukan pula diukur dari ludesnya anggaran yang dikelola tepat waktu, tetapi yang lebih penting adalah sejauhmana kebijakan yang dikeluarkan. Dengan itu mempunya dampakdalam mengembangkan dan memajukansekolah yang wujudnyatanya adalah tercapainya ketiga indikator di atas. Dengan demikian, akan melahirkan anggota masyarakat yang berkualitas sebagai hasil pendidikan.

Pada dasarnya ketiga indikator di atas merupakan sari misi pendidikan yang tertulis dalam GBHN 1999 yang menyatakan bahwa misi pendidikan adalah untuk memperteguh akhlak/budi pekerti, bertanggung jawab, bermoral, kreatif/inovatif, berdisiplin, berwawasan kebangsan, cerdas, dan memiliki iptek serta memiliki keterampilan. Jika misi ini tercapai, maka SDM yang berkualitas akan terwujud, dan inilah idealisme pendidikan yang harus menjadi acuan reformasi pendidikan saat ini. Sebagai konsekuensinya adalah perlunya mereformasi pendidikan khususnya dalam kerangka persekolahan.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah satuan pendidikan manakah yang harus direformasi agar misi ini dapat tercapai? Apakah sejak pendidikan dasar (SD plus SLTP), pendidikan menengah (SMU atau SMK), atau termasuk pendidikan tinggi? Jawabannya tentunya di setiap jenjang pendidikan harus melakukan reformasi baik reformasi pengelolaannya dalam artian manajemen sekolah dan juga reformasi terhadap oknum pengelolanya (subjek). Selain itu perlu juga kita angkat persoalan apakah setiap jenjang pendidikan harus mencapai ketiga misi itu? Jawabannya adalah setiap penyelesaian jenjang pebndidikan baik pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus mencapai ketiga hal tersebut sesuai dengan porsi masing-masing jenjang pendidikan. Misalnya, jika seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar dan karena sesuau hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian orang tersebut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap/etika yang dapat diaplikasikan untuk bekerja atau menjadi seorang karyawan? Hal inilah salah satu yang perlu dikaji dalam membuatkonsep reformasi pendidikan. Sebab dewasa ini data anak yang putus sekolah baik pendidikan dasar dan pendidikan menengah cukup besar, baik di pedesaan maupun di perkotaan dan semuanya tidak mampu mandiri secara ekonomi alias menganggur. Dan pada dasarnya tidak semua peserta didik akan dicetak menjadi sarjana. Oleh karena itu, perlu ada konsep pendidikan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan.

Produk pendidikan saat ini

Sampai saat ini kenyataan menunjukan bahwa secara umum tujuan dari masing-masing J'enjang pendidikan belum terwujud secara optomal. Hal ini terindikasi dari hal-hal berikut. Pertama, banyaknya pengangguran baik yang mengantongi ijazah pendidikan dasar sampai yang bergelar sarjana akibat minimnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak layak jual baik dalam pasar domestik terlebih-lebih dalam pasar global. Kedua, rendahnya akhlak dan moral yang indikasinya adalah maraknya kasus seks dan narkoba serta tindak kekerasan di kalangan siswa atau mahasiswa, kurangnya etika sopan santun, lemahnya disiplin serta rasa tanggung jawab yang indikasinya adalah sulitnya diatur/ditertibkan, yang paling serius adalah terkikisnya rasa persaudaraan berbangsa (nasionalisme) yang cenderung menuju sukuisme, daerahisme, agamaisme, yang akhirnya bermuara pada konplik horisontal dan disihtegrasi bangsa. Ketiga, adalah rendahnya aspek pengetahuan yang indikasinya selain hasil studi UNDP di atas, juga terindikasi dari nilai ebtanas murni setiap tahun, yang jika patokan kelulusan adalah NEM diperkirakan jumlah siswa yang lulus sangat sedikit.

Perspektif Sekolah

Variabel-variabel apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Jawabannya tentunya adalah sebagai berikut. Pertama, sejauh mana sekolah memegang prinsip kejujuruan pendidikan? Secara umum pelaksanaan pendidikan kita. belum memegang prinsip kejujuran, ketegasan, dan penuh rasa tanggung jawab serta sportifitas yang tinggi, baik oleh subjek pendidikan itu sendiri maupun oleh objek pendidikan. Contoh nyata masih maraknya lembaga pendidikan yang dengan sangat mudah mengeluarkan ijazah atau gelartanpa melalui proses pendidikan yang sangat ketat (istilah kasarnya adalah jual beli gelar atau ijazah). Akibat hal ini, maka tidak heran jika seseorang sarjana yang baru bekerja dan baru memimpin proyek melaksanakan pekerjaanya secara tidak jujur alias korupsi. Hal ini adalah masih berlakunya sistem pengkatrolan nilai baik dalam kenaikan kelas maupun dalam pelulusan. Dengan demikian tidak heran para generasi muda saat ini cenderung belajar santai atau memilih hidup santai atau tidak mau bekerja keras, sehingga lebih condong melaksanakan hal-hal yang gampang mencari duit seperti pengedar narkoba. Inilah resiko apabila pendidikan telah mengabaikan nilai-nilai kejujuran.

Kedua, adalah sejauh mana sekolah menyelenggarakn fungsi sekolah dengan baik? Kita tahu bahwa sekolah mempunyai multi fungsi, yaitu lembaga transfer iptek, lembaga penanaman berbagai nilai-nilai sosiokultural, nilai-nilai budi pekerti dan sikap/watak (caracter building), dan lembaga pemberi keterampilan. Saat ini lembaga sekolah hanya berfungsi sebagai tempat pengajaran belaka beraneka mata pelajaran dan itu pun tidak terlaksana dengan baik akibat kurangnya profesionalisme guru. Hilangnya sebagian fingsi sekolah dari multi fungsi menjadi mono fungsi merupakan masalah yang perlu diantisipasi dalam reformasi pendidikan.

Sekolah dewasa ini seolah-olah hanya berfungsi sebagai lembaga pengajaran. Fungsi edukasi dan pelatihan sementara kurang ditinjolkan. Minimnya pemberian aspek keterampilan bagi anak didik khususnya keterampilan yang dapat dikembangkan untuk terjun ke dunia kerja atau berwirausaha apabila mengalami drop out turut memperparah kelemahan dunia sekolah. Selama ini keterampilan yang diberikan di sekolah hanyalah keterampilan yang bersifat mendukung mata pelajaran tertentu. Misalnya, keterampilan praktikum fisika, biologi, dan lain sebagainya. Jika di sekolah diberikan keterampilan beternak ayam, bertani kedelai, dan lain sebagainya yang sesuai dengan potensi daerah setempat, maka apabila si anak didik mengalami drop out, dia akan memiliki keterampilan untuk bekerja sehingga kebermaknaan sekolah dapat dirasakan. Untuk itu perlunya kembali dipikirkan keberadaan lembaga pendidikan kejuruan setingkat SLTP bagi anak didik yang kemungkinan tidak akan meneruskan jenjang sekolahnya. Atau perlu mengkaji kembali materi dan struktur kurikulum untuk memenuhi hal itu. Selain itu masalah yang paling serius adalah menjamurnya sekolah swasta atau perguruan tinggi swasta yang sejenis. Sekolah atau PTS itu mutunya masih diragukan yang nota bene cenderung mengarah ke bisnis turut andil dalam memperburuk citra pendidikan di masyarakat yang banyak mencetak alumni-alumni yang tak terdidik. Walaupun telah ada upaya untuk pembinaan melalui akreditasi, namun hasilnya belum memuaskan dan tidak pernah disosialisasikan sehingga masyarakat kurang mengetahui. Oleh karena itu tidak jarang masyarakat selalu bertanya-tanya mana sekolah yang baik dan bermutu dan mana sekolah yang kurang baik.

Untuk mengantisipasi mutu lulusan, khususnya yang berkaitan dengan aspek sikap dan moral, maka dalam pelulusan juga perlu dipertimbangkan penilaian watak sehingga suatu lulusan mencerminkan manusia-manuasia yang berbudi pekerti. Dewasa ini telah turut diperhitung-kan penilaian budi pekerti dalam kelulusan siswa yang didasarkan kepada SK Dirjen Dikdasmen No. 64/C/KEP/2000. Hal itu, suatu kemajuan walaupun sebenarnya sangat sulit dilakukan secara objektif karena hasil penilaian setiap guru terhadap nilai budi pekerti seorang anak relatif berbeda. Untu itu, perlu ada pedoman yang lebih terperinci dan siap untuk dioperasikan tanpa pemahaman yang berbeda.

Ketiga, yang menjadi masalah utama dalam mereformasi pendidikan adalah bagaimana manjemen sekolah dapat ditata dengan baik dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta diawasi secara ketat. Semua usaha itu perlu dituangkan dalam peraturan perundangan, sehingga ketiga aspek hasil pendidikan yaitu manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, serta memiliki berbagai nilai dapat dicapai. Untuk penataan ini diperlukan pendalaman atau suatu kajian sebelum dituangkan dalam suatu kebijakan.

Kinerja Guru, kepala Sekolah, dan Pengawas

Pelaku-pelaku utama di sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan pengawas merupakan penentu keberhasilan sekolah itu sendiri. Sejauh mana kinerja mereka tersebut sebagai tenaga kependidikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya? Sejauh mana sarana dan prasarana belajar seperti kurikulum, fasilitas pendidikan, sistem evaluasinya, dan proses belajar mengajarnya untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan? Kedua hal ini merupakan kerangka persekolahan yang harus dipikirkan kembali dalam mereformasi pendidikan. Apabila membicaraka kinerja, kita tentunya akan menbicakan apa tugas dan fungsi masing-masing petugas tersebut. Di samping itu, bagaimana dedikasi dan keprofesionalan masing-masing petugas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Di dalam menjalankan tugas, kepala sekolah adalah seorang pemimpin atau seorang manager yang perlu mengetahui fungsi-fungsi manajemen. Kepala sekolah harus membuat suatu perencanaan sekolah setiap tahunnya. Perencanaan program sekolah tersebut yang menyangkut tujuan yang dicapai, materi belajar baik yang bersifta akademis maupun yang bersifat praktis, serta perencanaan tenaga pendidik baik yang ada maupun yang harus dikontrak dari luar seperti tenaga pengajar keterampilan. Kemudian kepala sekolah perlu melakukan pengawasan atau penilaian serta pengendalian terhadap seluruh kegiatan di sekolah sesuai dengan program yang telah ditentukan setiap harinya. Misalnya jika seorang guru kurang disiplin, kurang memberikan pananaman nilai-nilai atau urang menguasai ilmu yang diajarkan, maka kepala sekolah perlu mengambil tindakan perbaikan. Kepala sekolah dapat juga melakukan pertemuan setiap harinya setelah jam sekolah selesai untuk membicarakan berbagai hal sebagai pelaksanaan tugas supervisi. Akan tetapi, yang terjadi selama ini, jarang dilaksanakan atau dapat dikatakan tidak pernah dilakukan sehingga sekolah berjalan monoton.

Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi sekolah adalah seorang yang profesioanal. Artinya seorang guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas pengajaran, dan edukasi. Di dalam melaksanakan tugas pengajaran, guru harus menguasai ilmu yang diajarkan, menguasai berbagai metode pengajaran, dan mengenal anak didiknya baik secara lahiriah atau batiniah (memahami setiap anak). Dalam pengenalan anak, guru dituntut untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, lingkungan anak, dan tentunya mengetahui kelemahan-kelemahan anaksecara psikologis. Untuk itu, guru harus dapat menjadi seoranag "dokter" yang dapat melakukan "diagnosa" untuk menemukan kelemahan-kelemahan si anak sebelum mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya. Setelah itu, baru dia akan memilih metode atau mengulangi sesuatu topik sebagai dasar untuk memudahkan pemahaman si anak terhadap ilmu yang akan diajarkan. Misalnya seorang guru matematika akan mengaJ'arkan topik pangkat bilangan, tentunya guru harus mengetahui sejauh mana anak telah menguasai konsep perkalian. Dengan demikian, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus mampu; (1) berkomunikasi dengan baik terhadap siapa audiensnya, (2) melakukan kajian sederhana khususnya dalam pengenalan anak, (3) menulis hasil kajiannya, (4) menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan persiapan mengajarnya termasuk sipa tampil menarik dan bertingkah laku sebagai guru, menguasai ilmunya dan siap menjawabsetiap pertanyaan dari anak didiknya, (5) menyajikan/,\meramu materi ajar secara konkrit (metode pengajaran), (6) menyusun dan melaksanakan materi penilaian secara objektif sesuai dengan taksonomi Bloom dan mengoreksinya setiap harinya, dan lain sebagainya. Untu itu, dituntut kreatifitas guru, keprofesionalan guru, memegang etika guru dan tentunya dedikasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas keguruannya. Jika hal ini dilakukan oleh masing-masing guru maka benarlah bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain.

Melihat tugas-tugas guru di atas, seorang guru pekerjaannya cukup banyak dan tentunya jam kerja guru di sekolah minimal mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore. Apakah ini tetap dilaksanakan guru-guru di Indonesia dari guru 3D sampai perguruan tinggi? Kenyataan menunjukkan sejak dulu sampai sekarang bahwa tugas keguruan dalam proses belajar mengajar hanyalah berbicara di depan kelas, kemudian mencatat atau mendiktekan apa yang diucapkan oleh guru. Kalau demikian halnya, maka pekerjan seperti itu dapat dilakukan oleh semua orang yang tidak pernah mengalami pendidikan khusus. Suasana pengejaran ini membuat suasana yang menoton dan kan membosankan anak didik. Apabila bel berbunyi tanda pergantian sesion mengajar, maka selesailah tugas keguruannya. Wajarlah apabila kualitas out put pendidikan saat ini masih tergolong rendah.

Untuk mengetahui sejauh mana sekolah menjalankan tugasnya, maka peran pengawas sangat vital. Pengawas merupakan jembatan bagi para decition maker yang ada di birokrat untuk memberikan bahan masukan dalam pengambilan kebijakan khususnya yang bersifat teknis. Pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan mencakup hal-halyang teknis dan administratif sesuai dengan kebijakan yang telah dikeluarkan dan tentunya yang masih berlaku. Namun tidak jarang para pengawas kurang aktif mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebut saja contoh bahwa di dalam tahun ajaran baru, sesuai dengan salah satu SK Dirjen Dikdasmen, pihak sekolah tidak boleh memaksakan menjual buku dari kakaknya atau saudaranya.Akan tetapi, sering terjadi pihak sekolah seakan memaksakan penjualan buku yang sangat memberatkan para orang tua khususnya, dalam masa krisis ini. Padahal pemerintah telah menyediakan buku paket yang siap dipakai di sekolah, Oleh sebab itu, peran pengawas di dalam menjalankan tugasnya perlu dipertanyakan.

Pengawas jarang mencari data/masukan khususnya dari masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan sekolah. Pengawas hanya datang menemui kepala sekolah kemudian berbincang-bincang sebentar di ruang kepala sekolah entah apa yang diperbincangkan kemudian pergi meninggalkan sekolah itu. Seharusnya pengawas aktif selain mencari data kepada kepala sekolah juga perlu menanyakan guru-guru atau anak murid serta orang tua dan khususnya mdlihat bagaimana pelaksanaan proses belajar mengajar terjadi serta bagaimana sarana dan prasarana sekolah dan lain sebagainya. Pengawas hanya melaksanakan tugas-tugas semacam kunjungan rutin ke sekolah sehingga pengawas hanya berhubungan dengan kepala sekolah sementara hal yang bersifat teknis pengajaran jarang diawasi. Para kepala sekolah sering menganggap bahwa para pengawas adalah dewa yang harus disembah, sehingga acapkali kepala sekolah memberikan pelayanan lebih untuk dipersembahkan kepadanya sehingga hasil laporan pengawasannya selalu baik-baik saja.

Inilah sebagian gambaran/perspektif persekolahn di Indonesia yang perlu mendapat perhatian dalam mereformulasikan konsep pendidikan di masa datang. Semoga tulisan ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para pakar pendidikan dalam membuat konsep reformasi pendidikan.

Akhirnya Meletus

0 komentar

(Tulisan ini aku persembahkan buat sahabatku, mungkin engkau juga ingin mengatakan seperti ini, semoga semuanya baik-baik saja).

Lagu Forever Tonight dari Once mengalun memenuhi ruangan kamar berukuran 5x4 itu dengan lembut. Tidak pernah terbayangkan lagu yang selalu menjadi favorit kita selama menjalani kebersamaan lebih dari enam tahun lamanya akan menjadi lagu penutup dari seribu satu cerita tentang kita. Aku masih ingat betapa lagu classic ini dengan suara Once yang begitu jernih selalu kita dengarkan dimana saja. Dan selalu pada akhir lagu itu kita sama-sama tersenyum dan mengingat betapa bersyukurnya kita telah dipertemukan di dunia ini.

Enam tahun terasa bagai sebuah mimpi. Pedih semua ini terasa. Sejak itu pula kita, dengan cara masing-masing, berusaha untuk menyelamatkan semuanya. Tapi rasanya tidak pernah ada yang bisa diselamatkan. Engkau masih memprioritaskan duniamu dan aku memintamu untuk bertemu malam ini di rumah.

Di kamar ini, banyak kisah telah terurai. Canda, tawa, kesedihan dan kegalauan yang kita rasakan selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Kadang setelah makan malam, kita masih betah berlama-lama untuk duduk dan bercerita.

Satu yang sangat kuingat, ketika suatu malam engkau menghidangkan makanan yang paling aku sukai. Dan setelah itu engkau membelaiku dengan lembut, menyelimuti dan mengecup keningku.

Malam ini, kita berada dalam jarak yang cukup jauh. Aku tidak bisa berpikir karena kondisi otakku memang belum bisa diajak untuk berpikir, dan kau... tidak mau berpikir karena kau masih menyimpan amarahmu.

Disinilah semuanya dipertaruhkan. Beberapa menit setelah itu semuanya “meletus”. Kau dan aku tak sanggup menahan, tangis pun melimpah.

Saat ini, aku hanya ingin menyelesaikan semua persoalan ini. Aku ingin hidup tenang, dan kaupun demikian. Tetapi selalu saja tak kunjung bisa, hanya karena aku tak mampu mengeluarkan banyak jawaban yang nyata.

Aku memang sempat mengingat segalanya. Masa silam yang teraba begitu saja, membuatku menemukan rasa sesal dan kecewa yang sangat dalam. Aku telah gagal melahirkan anak-anak bernama kenangan dan pengalaman.

Ingin sekali aku demikian rapat menyembunyikan apapun yang membuatku sedih, tapi selalu saja tak bisa. Ingin sekali aku menyimpan kesedihan ini dengan tabah, seperti juga orang tua yang sebenarnya demikian bertahan bertahun-tahun menyembunyikan kesedihan dari anaknya. Tapi yang terjadi padaku, keinginan untuk menyembunyikan kesedihan itu justru hanya keluh kesah panjang yang menghabiskan waktuku untuk mulai menjalani hidup ini dengan baik.

Aku ingin meninggalkan semua ini. Aku ingin pergi ke tempat yang benar-benar baru; tempat yang tak sedikitpun pernah merekam “siapa aku” sebelumnya.
Aku telah menghabiskan waktu hanya untuk belajar mencerca kenyataan. Penyakit ini telah melemparku ke dalam rimba ketakutan dan keraguan menghadapi dunia. Telah kulewati waktu diantara hangar-bingar omong-kosong orang-orang. Telah kupungut hidup diantara hilir-mudik keangkuhan dunia. Aku terseret-seret diantaranya. Umurku tergilas di dalamnya. Cintaku diinjak-injak diantaranya.

Rumah megah impianku digusur oleh kekonyolannya sendiri, dirobohkan oleh kenyataan yang ada. Aku terbakar di ruang keterasinganku sendiri. Dunia berjalan lebih cepat meninggalkan impianku. Aku dicabik-cabik oleh rasa keterhinaan mengeja kalimat panjang sebuah kerumitan dunia.

Aku dihimpit jeritku sendiri. Aku diejek ketidakmampuan, diejek ketidaksehatan. Hari-hariku terasa pendek dan nyeri. Kusandarkan ia pada doa dan keberuntungan hari esok. Kalau-kalau…ah, selebihnya memang hanya menghemat kesedihan tanpa sedikitpun menguranginya.

Ingin sekali aku menjalani sisa usia ini dengan lantang, berpaut dengan keriuhan bumi. Tapi ternyata hanya kesunyian yang ada. Hingga tiba saatnya aku hanya percaya pada dua kawan, yaitu ketenangan dan kesunyian.

Inilah aku.... Inilah aku yang akan mengisi sisa usia dengan gemetar. Hanya melakukan sesuatu yang aku bisa, meski menelantarkan banyak hal yang lainnya. Inilah aku yang menimang kekalahan dengan kedua tangan. Barangkali aku akan tenang hanya dengan memindahkan kekalahan ini ke tempat yang lain.

Aku tak tahu, beberapa bulan ke depan, atau beberapa tahun ke depan, jika kenyataan ini masih begini, kepergianku akan dimulai. Hidup memang punya tikungan yang tak bisa kita tebak. Seperti juga hitungan tentang usia.

Bukankah setiap hitungan ke depan yang sudah kita ketahui angkanya belum tentu akan terhitung?
Karena kematian—direncanakan atau tidak—akan membawa kita kembali pada kekosongan.

Aku tahu kalau semua bakal tak ada perubahan. Tapi aku punya satu perubahan yang kian tajam dalam jiwaku, yaitu dendam pada hidup. Perasaan itu kian tumbuh dalam dadaku.

Semenjak vonis dokter itu menghujamku. Aku tak tahu dendam itu kelak menjadi apa.
Apakah ia menjadi kemenangan atau justru kekalahan yang lebih hitam, aku tak tahu. Tapi aku mulai merasakan, kesunyian telah menungguku, di ujung jalan itu. Dan kelak tiba waktunya aku akan meninggalkan segalanya, termasuk apa yang benar-benar sangat aku cintai.

Terima kasih, sesungguhnya, aku masih ingin tetap bersamamu.

Untuk yang selalu menemaniku tanpa lelah, mengingatkanku dikala lupa, membesarkan hatiku dikala aku jatuh.

Terimakasih, engkau telah memberiku ruang dan waktu, relakan aku tetap berada di dalamnya.

Meski hanya sejenak
Meski hanya sejenak