Halaman

Akhirnya Meletus

0 komentar

(Tulisan ini aku persembahkan buat sahabatku, mungkin engkau juga ingin mengatakan seperti ini, semoga semuanya baik-baik saja).

Lagu Forever Tonight dari Once mengalun memenuhi ruangan kamar berukuran 5x4 itu dengan lembut. Tidak pernah terbayangkan lagu yang selalu menjadi favorit kita selama menjalani kebersamaan lebih dari enam tahun lamanya akan menjadi lagu penutup dari seribu satu cerita tentang kita. Aku masih ingat betapa lagu classic ini dengan suara Once yang begitu jernih selalu kita dengarkan dimana saja. Dan selalu pada akhir lagu itu kita sama-sama tersenyum dan mengingat betapa bersyukurnya kita telah dipertemukan di dunia ini.

Enam tahun terasa bagai sebuah mimpi. Pedih semua ini terasa. Sejak itu pula kita, dengan cara masing-masing, berusaha untuk menyelamatkan semuanya. Tapi rasanya tidak pernah ada yang bisa diselamatkan. Engkau masih memprioritaskan duniamu dan aku memintamu untuk bertemu malam ini di rumah.

Di kamar ini, banyak kisah telah terurai. Canda, tawa, kesedihan dan kegalauan yang kita rasakan selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Kadang setelah makan malam, kita masih betah berlama-lama untuk duduk dan bercerita.

Satu yang sangat kuingat, ketika suatu malam engkau menghidangkan makanan yang paling aku sukai. Dan setelah itu engkau membelaiku dengan lembut, menyelimuti dan mengecup keningku.

Malam ini, kita berada dalam jarak yang cukup jauh. Aku tidak bisa berpikir karena kondisi otakku memang belum bisa diajak untuk berpikir, dan kau... tidak mau berpikir karena kau masih menyimpan amarahmu.

Disinilah semuanya dipertaruhkan. Beberapa menit setelah itu semuanya “meletus”. Kau dan aku tak sanggup menahan, tangis pun melimpah.

Saat ini, aku hanya ingin menyelesaikan semua persoalan ini. Aku ingin hidup tenang, dan kaupun demikian. Tetapi selalu saja tak kunjung bisa, hanya karena aku tak mampu mengeluarkan banyak jawaban yang nyata.

Aku memang sempat mengingat segalanya. Masa silam yang teraba begitu saja, membuatku menemukan rasa sesal dan kecewa yang sangat dalam. Aku telah gagal melahirkan anak-anak bernama kenangan dan pengalaman.

Ingin sekali aku demikian rapat menyembunyikan apapun yang membuatku sedih, tapi selalu saja tak bisa. Ingin sekali aku menyimpan kesedihan ini dengan tabah, seperti juga orang tua yang sebenarnya demikian bertahan bertahun-tahun menyembunyikan kesedihan dari anaknya. Tapi yang terjadi padaku, keinginan untuk menyembunyikan kesedihan itu justru hanya keluh kesah panjang yang menghabiskan waktuku untuk mulai menjalani hidup ini dengan baik.

Aku ingin meninggalkan semua ini. Aku ingin pergi ke tempat yang benar-benar baru; tempat yang tak sedikitpun pernah merekam “siapa aku” sebelumnya.
Aku telah menghabiskan waktu hanya untuk belajar mencerca kenyataan. Penyakit ini telah melemparku ke dalam rimba ketakutan dan keraguan menghadapi dunia. Telah kulewati waktu diantara hangar-bingar omong-kosong orang-orang. Telah kupungut hidup diantara hilir-mudik keangkuhan dunia. Aku terseret-seret diantaranya. Umurku tergilas di dalamnya. Cintaku diinjak-injak diantaranya.

Rumah megah impianku digusur oleh kekonyolannya sendiri, dirobohkan oleh kenyataan yang ada. Aku terbakar di ruang keterasinganku sendiri. Dunia berjalan lebih cepat meninggalkan impianku. Aku dicabik-cabik oleh rasa keterhinaan mengeja kalimat panjang sebuah kerumitan dunia.

Aku dihimpit jeritku sendiri. Aku diejek ketidakmampuan, diejek ketidaksehatan. Hari-hariku terasa pendek dan nyeri. Kusandarkan ia pada doa dan keberuntungan hari esok. Kalau-kalau…ah, selebihnya memang hanya menghemat kesedihan tanpa sedikitpun menguranginya.

Ingin sekali aku menjalani sisa usia ini dengan lantang, berpaut dengan keriuhan bumi. Tapi ternyata hanya kesunyian yang ada. Hingga tiba saatnya aku hanya percaya pada dua kawan, yaitu ketenangan dan kesunyian.

Inilah aku.... Inilah aku yang akan mengisi sisa usia dengan gemetar. Hanya melakukan sesuatu yang aku bisa, meski menelantarkan banyak hal yang lainnya. Inilah aku yang menimang kekalahan dengan kedua tangan. Barangkali aku akan tenang hanya dengan memindahkan kekalahan ini ke tempat yang lain.

Aku tak tahu, beberapa bulan ke depan, atau beberapa tahun ke depan, jika kenyataan ini masih begini, kepergianku akan dimulai. Hidup memang punya tikungan yang tak bisa kita tebak. Seperti juga hitungan tentang usia.

Bukankah setiap hitungan ke depan yang sudah kita ketahui angkanya belum tentu akan terhitung?
Karena kematian—direncanakan atau tidak—akan membawa kita kembali pada kekosongan.

Aku tahu kalau semua bakal tak ada perubahan. Tapi aku punya satu perubahan yang kian tajam dalam jiwaku, yaitu dendam pada hidup. Perasaan itu kian tumbuh dalam dadaku.

Semenjak vonis dokter itu menghujamku. Aku tak tahu dendam itu kelak menjadi apa.
Apakah ia menjadi kemenangan atau justru kekalahan yang lebih hitam, aku tak tahu. Tapi aku mulai merasakan, kesunyian telah menungguku, di ujung jalan itu. Dan kelak tiba waktunya aku akan meninggalkan segalanya, termasuk apa yang benar-benar sangat aku cintai.

Terima kasih, sesungguhnya, aku masih ingin tetap bersamamu.

Untuk yang selalu menemaniku tanpa lelah, mengingatkanku dikala lupa, membesarkan hatiku dikala aku jatuh.

Terimakasih, engkau telah memberiku ruang dan waktu, relakan aku tetap berada di dalamnya.

Meski hanya sejenak
Meski hanya sejenak