Halaman

Lebaran Kali Ini Berbeda (lagi)

2 komentar

Tahun 2011 ini umat Islam di tanah air akan kembali berbeda hari dalam merayakan Idul Fitri. Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari mengumumkan lebaran jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011 karena posisi awal bulan (hilal) sudah terlihat di atas satu derajat (tetapi kurang dari dua derajat). Sementara Nahdhatul Ulama (NU) kemungkinan akan mengumumukan lebaran jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011 karena hilal kurang dari dua derajat sehingga puasa digenapkan menjadi 30 hari.

Tidak sekali ini saja kita umat Islam berbeda dalam merayakan Idul Fitri. Antara NU dan Muhammadiyah sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Yang dipermasalahkan adalah angka dua derajat itu. Angka dua ini semacam threshold yang menentukan keputusan awal bulan baru. NU dan Muhammadiyah (dan juga ormas Islam yang lain) tentu mempunyai alasan yang sama kuat kenapa harus dua derajat, kenapa bukan 1 derajat, dan sebagainya. Bagi Muhammadiyah, jika bulan sudah “terlihat” (secara perhitungan) meskipun tingginya hanya nol koma sekian derajat maka sudah dianggap masuk bulan baru. Sementara bagi NU (dan juga beberapa ormas yang lain) menetapkan tinggi hilal harus di atas dua derajat sebagai pertanda dimulainya bulan baru.

Ormas-ormas Islam di Indonesia terlalu banyak jumlahnya dan masing-masing menetapkan cara perhitungan awal bulan sendiri-sendiri. Mereka sulit sekali bersatu untuk menyatukan kalender Hijriyah. Usaha-usaha untuk mempersatukan ormas itu dalam perhitungan tanggal-tanggal penting tidak pernah berhasil dari dulu hingga sekarang. Ada ego masing-masing kelompok yang dipertahankan oleh mereka. Alasan yang jamak dipakai (saya kira sudah “bosan” mendengar alasan ini) adalah “perbedaan itu adalah rahmat”. Mengapa tidak mencoba menghilangkan perbedaan itu untuk mencari persamaan demi persatuan dan kemaslahatan umat Islam? Perbedaan waktu hari raya hanya menyebabkan kebingungan di tengah masyarakat yang awam mengenai agama.

Diluar cara perhitungan tinggi bulan di antara kedua ormas besar itu, ada pula kelompok yang menetapkan waktu hari raya berdasarkan ketetapan di Mekah. Jika di Mekah shalat Ied pada hari X, maka jamaahnya di Indonesia juga mengikuti waktu Mekah itu. Menurut saya ini pandangan yang aneh, bukankah bumi itu bulat dan posisi bulan baru yang dilihat di Mekah dan di belahan bumi lain tidak selalu sama. Seharusnya penetapan waktu itu mengikuti kondisi di negara masing-masing.

Adanya perbedaan waktu hari raya itu tentu membuat perayaan lebaran di tengah masyarakat menjadi sumbing. Ada yang sudah lebaran pada hari Selasa, sementara sebagian lagi pada hari Rabu. Ada yang sudah takbiran, sementara sebagian lagi masih makan sahur. Inginnya kita merayakan hari raya bersama-sama, tetapi ego masing-masing ormas itu membuat umat terpecah-pecah.

Memang sih perbedaan hari raya itu disikapi biasa-biasa saja oleh umat Islam. Tidak ada gejolak pertentangan di tengah masyarakat. Semua memaklumi kondisi yang demikian sebab sudah sering terjadi. Namun alangkah elok kalau kita merayakannya bersama-sama. Janganlah jadikan “perbedaan itu rahmat” sebagai alasan pembenaran. Penyamaan itu tetap bisa dilakukan jika setiap ormas mengedepankan toleransi dan menghilangkan ego masing-masing kelompok. Lihatlah kenapa Mesir bisa satu suara dalam menetapkan waktu hari raya, atau Malaysia yang juga satu, kenapa di Indonesia tidak bisa?

Yang menarik adalah tidak ada perbedaan di antara ormas-ormas itu dalam menetapkan tanggal 1 Muharam (tahun baru Hijriyah), tanggal 27 Rajab (Isra’ dan Mi’rah), dan tanggal 12 Rabiul Awal (Maulid Nabi). Mereka kompak mengikuti penanggalan merah yang ditetapkan Pemerintah dalam menentukan hari libur nasional untuk hari-hari besar itu. Apakah anda melihat perbedaan hari antara NU dan Muhammadiyah dalam penetapan tahun baru Hijriyah? Saya belum pernah melihat berbeda, atau mungkin saya yang salah. Mungkin karena tanggal 1 Muharam, Maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj tidak berkaitan dengan ibadah seperti penentuan awal Ramadhan dan hari raya, maka tidak ada perdebatan dalam penentuan tanggalnya.

Yang hampir selalu menjadi pertanyaan saya yang bodoh ini dalam hal astronomi dan perkalenderan adalah, jika penetapan hari raya sering berbeda sejak zaman dulu hingga sekarang, seharusnya kalender hijriyah masing-masing ormas pun sudah bergeser jauh berhari-hari. Namun anehnya, perbedaan yang timbul hanya satu hari saja, bisa lebih dulu atau lebih lambat. Kenapa perbedaan awal bulan hanya satu hari saja? Saya tidak mengerti.

Social Network; Media Budaya Narsis

0 komentar

Jaman gini gak mainan internet mungkin disangka ndeso karena dari pelajar hingga pekerja bahkan pengangguran (seperti saya) pun sekarang dah pada ketagihan yang namanya internet terlebih pada jejaring sosial yang disukai, mungkin ada yang suka facebook, twitter, google+, skype dll. Kira-kira apa ya yang membuat ketagihan? ya itu tadi, karena merasa (lebih) gaul kalau eksis di jejaring sosial. Jejaring sosial itu baik ato buruk sih? semua hal pasti ada baik buruknya, ‘SyauQie’s Zone’ kali ini gak akan bahas neko-neko karena Ide Itu Gak Harus Kreatif Karena Ide Itu Sederhana, jadi sekiranya postingan ini cuma sekedar mengulas dari sisi gaya gaul yakni Social Network; Media Budaya Narsis.

Sadar ato nggak yang namanya jejaring sosial dapat membentuk jiwa narsisisme yang tinggi atau narsis mugholadhoh wkwkwkwk… Apa buktinya? bukti sederhananya adalah foto!!! Misalnya saja di facebook, banyak sekali foto yang sengaja diupload untuk dipertontonkan kepada pengguna facebook lainya. Mungkin dengan meng-upload foto itu seolah ia ingin mengatakan “gimana aku ganteng kan?”, “aku seksi kan?”, “aku orang kaya gitu loh”, “aku bla-bla-bla…..”.

Mungkin nggak dari foto saja, status juga bisa mengekplorasi bakat narsis, misalnya; update status “gila, baru nyadar deh, ternyata aku itu ganteng banget”, lalu 15 menit kemudian update lagi “aduh, aku gak gak gak kuat…. punya wajah ganteng, hawanya pengen ngaca mulu”, 15 menit kemudian tunggu saja status terbarunya. (maaf ya, contoh statusnya agak dilebih-lebihkan, biar chemistry akan narsismenya itu dapat gitu loh) hahaaa...

Bila narsisme itu sudah tinggi bahayanya adalah untuk dunia remaja yang masih pelajar mungkin prestasinya di dunia menuntut ilmu agak terganggu kali ya, karena semenjak kenal facebook atau twitter jadi pada rajin masuk, bukan masuk sekolah tapi masuk warnet untuk sekedar upload foto atau update status. Atau rajin masuk sekolah tapi mainan facebook sama twitternya lewat HP. Gurunya nerangin panjang lebar, muridnya duduk manis aja, gurunya sih bangga-bangga aja karena dengan muridnya yang duduk manis itu ia merasa diperhatikan, padahal yang duduk manis itu pada mainan facebook, bikin status “gurune ngajar e gak jelas”, udah gitu jadilah komen-komenan. Buat pelajar yang sukanya kayak gitu, mbok ya ndang tobat sebelum terlambat. Tapi apa mau dikata, guru jaman sekarang juga pada rajin update status, disela-sela nerangin bikin status “busyeet murid-muridku pada duduk manis semua waktu aku lagi nerangin, aku emang guru yang hebat”.  Lain dunia pendidikan lain pula dunia kantoran, Buat yang statusnya pekerja, biasa belagak sibuk di depan komputer padahal ya gitu deh, facebook-an man twitter-twitteran.

Narsisme yang tinggi alias berlebihan bisa memicu rasa-rasa yang lain, misalnya rasa gelisah bila sehari gak update status, rasa resah bila sehari gak upload foto, gak bisa tidur bila sehari gak bisa memperlihatkan sesuatu di facebook atau twitternya. Alangkah baiknya bila para user jejaring sosial membudayakan narsis yang baik, maksudnya narsis yang bermanfaat, misalnya pamer foto tapi fotonya bukan foto pribadi yang (sok) cool, bisa foto-foto tempat wisata di sekelilingmu, sekalian promo gitu, sebisa mungkin fotonya tak perlu ada penampakan “kamu”nya, kalo kamunya nampak, balik maneh nang narsis. Atau mungkin buat pamer hasil karya, bisa berupa puisi atau hasil menggambar atau apa lah, atau nulis status-status yang penuh motivasi. 

Kalau aku memang rajin di facebook, buat pajang url blog, kadang juga update status tapi statusnya gak ada yang jelas. Yang jelas diluar pajang url blog, segala status yang saya keluarkan hanyalah seru-seruan belaka, mau bikin status yang penuh motivasi gitu sih, tapi berattt deh, karena sering kali apapun statusku ujung-ujungnya cuma dikomeni ‘hahahah, heheheh, kwakkwakk, xixixi, wekeke, dan sejenisnya’, ngenes yoo…

OK mas BROto and mbak soSIS mari budayakan bermain santai dan damai…

Mau Jadi Ustadz? Gampang Kok !

0 komentar

Predikat ustadz/kiyai seolah sekarang menjadi sesuatu yang mudah dicari. Masyarakat terkadang semakin tak perduli pada background (latar belakang) intelektualitas keagamaan seorang Kiyai, apakah diperoleh secara “instan” ataukah melalui sebuah metode pendidikan yang valid sanadnya, semisal Pondok Pesantren yang notabene masyhur dengan sanadnya yang terjaga dan selalu mendapat  pemeliharaan. Menyikapi perkembangan ditengah-tengah masyarakat kita dengan munculnya wabah ‘demam’ menjadi Ustadz/Kiyai, sebagai santri kita perlu mewaspadai gejala ini. Lebih-lebih menjelang kampanye pemilu, biasanya partai tertentu akan merangkul ustadz/kiyai “bookingan” untuk memuluskan jalan penghimpunan dukungan.

Bukankah hal ini butuh kewaspadaan khusus. Bila perlu kita perlu “siaga satu”. Para ustadz/ kiyai ‘karbitan’ ini disadari atau tidak menimbulkan kerancuan di tengah masyarakat. Tentunya dari segi penguasaan ilmu (agama).

Terkadang seorang intelek bisa mendapat predikat ustadz/kiyai hanya karena kemahirannya berbahasa Arab. Sebagai gambaran, orang Arab yang notabene mahir berbahasa Arab saja tidak lantas semuanya menjadi Ulama ? Apa susahnya bagi orang Arab untuk menjadi Kiai (di Indonesia)? Padahal Allah SWT menjanjikan derajat tinggi bagi Ulama. Sebagai perbandingannya di Indonesia, seseorang dengan mudah menjadi ustadz/kiyai dan bahkan tanpa ‘nyantri’ sekalipun, sudah punya cukup keberanian berdebat tentang masalah-masalah hukum Islam hanya bermodal kitab terjemahan, referensi dari internet, atau mahir membaca huruf Arab serta titel akademis yang disandangnya. Apa susahnya ? Dan ini (mungkin) salah satu sebab mengapa 'guru' kita mengharamkan santrinya membaca kitab terjemahan (dengan batasan tertentu) agar kita tidak nggampangno (meremehkan) proses ‘leveling’ tholabul 'ilmi !

Bicara tentang ilmu, 'guru' kita juga pernah berpesan, ”Kalau kamu ditanya tentang bagaimana hukumnya makan babi. Maka jawab saja tidak tahu, atau jawab saja “menurut guru saya”, makan babi itu haram!!” Makna apa yang tersirat dari pesan tersebut ? Kenapa harus menyertakan sepenggal kalimat “Menurut guru saya demikian…..” ?. Setiap Muslim mungkin tahu bagaimana hukumnya memakan babi. Namun jarang sekali yang bertindak selalu berdasarkan (kapasitas) ilmu, masalahnya disini bukan haram atau halalnya babi, akan tetapi cara penyampaian hukum tersebut harus sesuai dengan kapasitas ilmu dan kredibilitas sanad yang kita miliki serta harus jeli-jeli meletakkan maqam kita pada tempat yang tepat, yaitu santri.

Idealnya, jika santri ditanya suatu hukum, seharusnya ia memperhatikan kapabilitas atau tingkatan level ilmu yang dimilikinya. Tidak sekedar asal mencomot hadits atau ayat dari suatu kitab sekalipun dia tahu itu relevan sekali dengan masalah tersebut. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh, ”Sing ngerti Wali ya para Wali !”. Jika ada orang mengatakan bahwa Syaikh “Anu” adalah Wali, yang kemungkinan saja memang benar. Masalahnya, apakah orang tersebut tidak meletakkan dirinya sendiri pada maqam Wali (berdasar apa yang diucapkannya) ? Dan berdasar (ilmu) apa orang tersebut mengetahui kewalian orang lain ? Mari, kita biasakan dalam bertingkah laku itu berdasarkan ilmu. Jangan asal tebak dan jangan asal comot. Semua ada ilmunya. Bahkan amalan (ibadah) yang kita kerjakan tanpa ilmu bakal percuma dan tidak akan berguna (lha wong berhubungan intim saja ada ilmunya kok) hehee..

Tidak susah memang, menukil salah satu ayat atau hadits yang kita temukan dalam suatu kitab, atau bahkan dari internet online, kemudian kita memutuskan sendiri suatu masalah layaknya seorang Mujtahid tanpa mempertimbangkan kedalaman ilmu yang kita miliki. Kalau memang demikian, judul di atas “Mau Jadi Ustadz? Gampang Kok !” mungkin sudah tidak bisa dibantah lagi !
Semoga bermanfaat.

Nice Word's, Gus

4 komentar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla. Sholawat serta salam senantiasa kita haturkan pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.

Hanya mencoba merangkum kembali beberapa kalimat motifasi dari “guru” saya yang tercecer dalam beberapa lembar halaman buku mengaji. Bagi anda yang belum pernah merasakan rasanya ber”guru” tentu heran dengan sikap mental mayoritas santri yang begitu tunduk dan patuh pada gurunya. Bagi sebagian orang tentu merasa aneh ketika melihat kami mencium tangan “guru”, melihat kami yang tak berani berjalan sembarangan di depan “guru”, melihat kami yang berjalan ngodok (jalan jongkok kayak di keraton2 Jawa itu loh) ketika di depan “guru”, melihat kami yang tak berani berkata2 jika tidak ditanya/ dipersilahkan “guru”. Aneh ? dan sebagian orang tentu berseru, “Feodalisme, tuh !”. Huhh,,, ketundukan dan kepatuhan yang didasari ketulusan dan keimanan malah dituduh feodal, sedangkan ketundukkan dan kepatuhan yang dilandasi “sistem birokrasi” malah jauh dari sorotan.

Ketika kami “sami’na wa atho’na” (kami dengar, kami laksanakan) terhadap “guru” kami malah divonis taqlid buta. Namun pada kemana tuh para protestor “anti taqlid buta” ketika menghadapi para pengagum Einstein dengan teori relativitasnya, ketika para psikopat (eh..., psikolog) mengagung2kan psikoanalisanya Sigmund Freud, para sosialis yang mendewakan Karl Marx, para anti kreasionis yang taqlid dengan evolusinya Charles Darwin. Dimana kekritisan mereka dalam menilai segala hal, dimana lagi obyektifitas mereka ?. Waduhh... kok jadi ngelantur kemana-mana sih, maaf kawan saya hanya ingin menyampaikan bahwa dalam memandang segala sesuatu ada baiknya kita berdasarkan ‘ilmu dan ridho Allah Ta’ala tentu.

Dan saya percaya bahwa beberapa kalimat berikut yang disampaikan “guru” saya tentu terinspirasi dari ayat2 Al Qur’an dan pesan2 dalam hadits Rasulullah SAW, jikapun menurut kalian ada yang menyimpang dari Al Qur’an, silahkan kritisi, kawan. Dengan demikian, semoga kita terhindar dari taqlid buta yang bisa menimpa siapapun juga, amin.

Firman Allah Ta’ala, kurang lebih artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (QS Luqman, 31:21)

Dalam hal ini saya hanya ingin mengajak untuk menyampaikan kandungan Al Qur’an dalam bahasa-bahasa yang mudah dicerna dan diterima secara universal, karena memang demikianlah selayaknya kita menyampaikan Islam sebagai rahmat semesta alam.

Bersosialisasi.
Berikanlah yang terbaik, maka kau akan jadi pemimpin
“We come, we take over !”. Kami datang, kami ambil alih
Jangan meminta penghormatan dari masyarakat, tapi berikanlah rasa hormat pada masyarakat.
Lebih baik dianggap rendah, tapi tinggi. Daripada dianggap tinggi, tapi rendah.
“Penghargaan” bukanlah suatu penghormatan, tapi sebuah tanggung jawab.
Hanya orang kotor yang akan berkata “Politik itu kotor”

Pemuda.
Pemuda bukanlah yang menepuk dada dengan “inilah moyangku”, tapi pemuda adalah yang berani berkata “inilah aku”.
“Miliki”lah apa yang kau miliki.

Wanita.
Harta berharga yang sesungguhnya dimiliki oleh wanita adalah qona’ah (mensyukuri apa yang didapat).
Mustikane wong wadon iku ing rasa “isin”. (Mahkota seorang wanita adalah memiliki rasa malu).

Tholabul ‘Ilmi.
‘Ilmu agama (baca : Islam) adalah ilmu apapun yang dengan mempelajarinya menjadikan kita mengenal dan bertaqorrub pada Allah Ta’ala.
Tatkala seseorang sudah merasa pandai, maka sejak saat itulah ia bodoh.
Istiqomah luwih bagus tinimbang sewu karomah. (Istiqomah lebih baik dari seribu karomah : konsistensi dalam hal apapun lebih baik dari seribu keajaiban).
Hidayah, tsamrotul ‘ibadah. Hidayah adalah buah dari ibadah (makna umum : Petunjuk Ilahi hanya dapat diraih dengan dedikasi).

Motifasi Kerja.
Berorientasilah pada kerja, jangan berorientasi pada hasilnya.
Jangan menunda sampai besok apa yang bisa kau kerjakan sekarang.
Jangan pernah mencari kebahagiaan, tapi ciptakanlah kebahagiaan.
Jangan hanya melihat “buah” dari kesuksesan, lihat juga “proses” meraihnya.

Motifasi Diri.
Masa depanmu adalah sekarang.
Masa depanmu adalah bagaimana usahamu hari ini.
Jangan merasa ‘kecil’ bila dikecilkan orang lain, sebab keberhasilan selalu berangkat dari hal yang kecil.


Sekali lagi, kritisilah jika kalimat2 di atas bertentangan dengan Al Qur’an. Sampaikan kebenaran dengan ‘ilmu bukan dengan kebencian. Semoga bermanfa’at.

Gara-gara Drama Korea

0 komentar

Sepertinya tidak ada cewek yang gak suka atau bahkan benci nonton drama korea? kalau ada, mau tau alasannya apa hehee..

Sepertinya hobby  nonton drama Korea membawa pengaruh dalam hidup hahaa.. (Lebayyy), yaah memang lebay. Gimana tidak, kebanyakan mereka sangat dan selalu berharap punya kisah hidup yang mirip dengan cerita dalam drama Korea (hohhoo) dicintai laki-laki yang kaya, cool, cakep biarpun  si cewe biasa-biasa saja. Tapi unik, menarik dan yang pasti sangat  cantik (kalo ini sih jauuuh). Dan selalu happy ending.. wkwkwk

Mereka kebanyakan (sekali lagi, kebanyakan) slalu ngimpi punya kisah hidup terlebih kisah cinta bak drama Korea sampai-sampai susah buat jatuh cinta, hadeeeh.. (keseringan Fall in love ma aktor-aktor Korea kalee yaa), slalu berharap punya pacar yang cuek tapi perhatian, arogan tapi sangat penyayang, huuuuu pokoknya yang cool abis dan pastinya… romantis . Pemeran laki-laki yang diperankan sangatlah perfect bahkan dari sikap dan setiap kata yg meluncur dari bibirnya bisa buat kelenger cewek. Apa semua cowok Korea seperti itu ya?

INI PESAN PRIBADI SAYA, kalau pacar, istri, atau teman anda lagi nonton drama Korea, jangan dekati mereka, rugiii… kita sudah pasti terabaikan, dan satu lagi hindari bertanya pasti kalo jawab seadanya bahkan kadang nggak nyambung… selebihnya jadi pelupa… misalnya lupa balas SMS (banyak yg sudah jadi korban, temasuk saya) wkwkwkk, soalnya konsentrasi penuh alias fokus pada drama Korea, dan efek lainnya hasil dari nonton drama korea itu mata bisa membengkak kaya habis melayat sanak saudara yang meninggal wkwkwk asli parah. Itulah drama Korea yang membosankan.

Wajib Ada Roti

1 komentar

Dipostingan sore hari ini dalam rangka ngaBlogburit aku terpaksa bongkar rahasia ‘pertama kali puasa’ yang padahal ceritanya biasa-biasa aja. Pertama kali puasa jelas lah waktu masih anak-anak, Kalau gak TK ya SD! Tapi yang jelas-jelas aku ingat dulu itu pertama kali puasa ada istilahnya “poso sapi bar mangan diusapi”, apa artinya? habis makan diusapi alias bibirnya dilap biar gak kepres/gak ada sisa makanan yang nempel. Dulu itu tau nya puasa itu ya gak boleh makan nasi, jadi boleh makan tapi selain nasi, berhubung aku pecinta roti jadi wajib ada roti. Kalau waktu puasa itu makan rotinya ketika adzan duhur, disebutnya poso bedug alias setengah hari dengan catatan habis makan diusapi biar jadinya poso sapi abis itu minum air putih terus dilap lagi biar gak ketahuan orang lain karena abis makan dan minum, kalau ketahuan kan malu. Abis makan-minum bergaya bak orang dewasa lagi puasa, dengan ekspresi sumringah main lagi, makan lagi waktu buka puasa. Gara-gara suka makan roti Akhirnya puasa gak puasa kebiasaan makan roti, jadi habis pulang sekolah dimeja harus sudah ada roti, kalau gak nesu alias marah bin ngambek.

Gara-gara istilah puasa gak boleh makan nasi itu pula pada akhirnya ngefek hingga sekarang, aku gak bisa bosen dengan yang namanya roti, jenis roti basah seperti roti tawar dan konco-konconya, mau yang jualan si udin, karso atau siapapun, mau sari roti atau produk lainya pasti aku doyan. Kalau dirumah memang aku gak memperlihatkan kebiasaan makan roti tapi kalau diluar diam-diam aku mengonsumsinya. Parahnya lagi hingga puasa pertengahan ini sungguh berasa efeknya, pertama kali sahur puasa kali ini jauh-jauh aku ngebayangin sahur di Riyadh (tentunya dg my Rose) dengan menu sahur sebungkus roti maryam, jangan tanya seberapa besar! dan jangan pula nanya minumnya apa? minumnya jelas its in me, pasti dah pada tau kan? Kopi laaah... (ndeso yaaa). Jadi biar kelihatan gaul ya bilang aja its in me!

Kala masih anak-anak Pertama Kali Puasa: Wajib Ada Roti! hingga akhirnya Gak puasa tetap wajib ada roti, gede nya puasa cuma bisa sahur roti! Ngenessss, tapi paling enggak aku udah berpengalaman jauh-jauh ngebayangin puasa di Riyadh dan itu ternyata sudah terlatih sejak pertama kali puasa. Kenapa pula harus ngebayangin jauh-jauh puasa di Riyadh? karena wong ndeso bilang kalau sukanya makan roti itu kayak wong luar (luar negeri). Aku jadi curiga jangan-jangan aku masih pantes poso sapi??? karena faktanya hingga kini aku masih suka makan roti. :D

Buat yang mau sedekah ke aku caranya gampang banget, cukup kasih roti aja aku udah seneng, kalau memang niat mau sedekah tapi terbentang oleh jarak, bisa kasih metahannya aja, biar nanti aku beli roti sendiri wkwkwwk..

Ssstt.. ini cerita rahasia, jangan bilang siapa-siapa, jangan kasih tau temanku atau orang tuaku!! aku takut orang tuaku kawatir kalau anaknya puasa cuma bisa beli roti aja!! ngenessss!!

(ini penampakan roti dan gule maryam yg bikin ngiler hhhsssshhh..) 











Wisata Pantura

1 komentar

Gayanya sok cool padahal nyasar :D

Slruuurrrp.. aaah

Sampah keseharian huuh

Swiit.. Swiit..

Sepii.. tanpa menu

Vitamin dan gadget :p

Ini tissue

Kalo yg ini temannya tissue wkwkwkw

Serama's

Sebenernya itu foto dlm keadaan lapeeeer sharian blm makan :D

Salah satu tukang becak di sekitar TKP

Ada yg sedih, ada yg murung ha3

Pernikahan Ataupun Perkawinan

0 komentar

Cincin pernikahan
Pernikahan ataupun Perkawinan,
Menyingkap tabir rahasia,
Istri yang kamu nikahi,
Tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setakwa Aisyah,
Pun tidak setabah Fatimah,
Istri kita hanyalah wanita akhir jaman,
Yang punya cita-cita,
Menjadi solehah.

Pernikahan ataupun Perkawinan,
Mengajari kita kewajiban bersama,
Istri menjadi tanah, kamu langit penaungnya,
Istri ladang tanaman, kamu pemagarnya,
Istri kiasan ternakan, kamu gembalanya,
Istri adalah murid, kamu mursyidnya,
Istri bagaikan anak kecil, kamu tempat bermanjanya,
Saat Istri menjadi madu, teguklah sepuasnya,
Seketika Istri menjadi racun, kamu lah penawar bisanya,
Seandainya Istri tulang yang bengkok, berhati-hatilah meluruskannya.

Pernikahan ataupun Perkawinan,
Menginsafkan kita perlunya iman dan takwa,
Untuk belajar meniti sabar dan ridha,
Karena memiliki istri akhir jaman,
Justru Kamu akan tersentak dari alpa,
Kamu bukanlah Rasulullah yang mulia,
Pun bukanlah Saidina Ali Karamaullahhuwajah,
Cuma suami akhir zaman,
Yang berusaha menjadi soleh.

Bermain Pena (lagi)

0 komentar

Semenjak itu sampai ia pergi hilang dari hidupku
Seakan-akan aku di beri ilham kata-kata untuk di goreskan pena


Belajar dari perasaan berguru pada kenyataan


Berlembar-lembar kertas berpuisi
Hilang sia-sia tak tau kemana pergi
Setelah jemari-jemariku lelah menulis menari-nari
Di atas lembaran-lembaran yang pasrah untuk dihiasi


Setelah waktuku berjalan melepasnya
dan zaman semakin tua dan berubah
Akupun membalikkan tangan melepas pena
Sampai rasa itu kembali datang untuk kedua kalinya
Dari sosok lain yang cantik nan setia


Sekarang aku baru terasa
Aku telah lama tak bermain pena
Hingga satu puisipun tak tercipta untuknya
Hanya barisan-barisan urjuzah yang aku beri waktu itu untuknya
Sebelum cincin emasku menghias indah di jari manisnya.