Halaman

From My Best Friend

0 komentar

Love will grow, and nothing comes in the way
It's true that love is here to stay
All we have to do is face tomorrow
Love will grow; there's no need to run and hide
It's true we've always been so slow—
Should I tell you now what's been burning inside?
Don't be afraid, open the door to your hear you'll find
All the dreams that you believe it's waiting for you
Shining bright together we'll make it true
Darling, strange days are over
Fears and tears, they're all gone
This is the very beginning
Now, the world is meant for you and me
Love will grow; there's one thing I'm sure of now
I know that we'll get no more sighs
Love is to us true-blue, and there's no sorrow
Love will grow; come what, may we'll never part
Let's hold on tight to dreams of ours
Even though we've still got a long way to go...
Darling, strange days are over
Fears and tears, they're all gone
This is the very beginning
Now, the world is meant for you and me
See how the day has just broken
Oh, so fresh from the world
See how the brave new sun's coming up
Let it now...shine on me!
Shine on you...shine on me!
Love will grow, and nothing comes in the way
It's true that love is here to stay
All we have to do is face tomorrow!

SURAT DARI KEKASIH

0 komentar

Untuk mu yang selalu Kucintai. Saat kau
bangun di pagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepadaKu, bercerita, meminta pendapatKu, mengucapkan sesuatu untukKu walaupun hanya sepatah kata.

Atau berterima kasih kepadaKu atas sesuatu hal yang indah yang terjadi
dalam hidupmu pada tadi malam, kemarin, atau waktu yang lalu. Tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja... Tak sedikitpun kau menyadari Aku di dekat mu.

Aku kembali menanti saat engkau sedang
bersiap. Aku tahu akan ada sedikit waktu
bagimu untuk berhenti dan menyapaKu,
tetapi engkau terlalu sibuk...

Di satu tempat, engkau duduk tanpa melakukan apapun. Kemudian Aku melihat
engkau menggerakkan kakimu. Aku berfikir engkau akan datang kepadaKu, tetapi engkau berlari ke telefon dan menelefon seorang teman untuk sekadar berbual-bual.

Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku menanti dengan sabar
sepanjang hari. Namun dengan semua
kegiatanmu Aku berfikir engkau terlalu
sibuk untuk mengucapkan sesuatu kepadaKu.

Sebelum makan siang Aku melihatmu
memandang ke sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKu, itulah sebabnya mengapa engkau tidak sedikitpun menyapaKu.

Engkau memandang tiga atau empat meja
sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKu dengan lembut sebelum menjamah makanan yang Kuberikan, tetapi engkau tidak melakukannya...

Ya, tidak mengapa, masih ada waktu yang
tersisa dan Aku masih berharap engkau
akan datang kepadaKu, meskipun saat
engkau pulang ke rumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.

Setelah tugasmu selesai, engkau menghidupkan TV, Aku tidak tahu apakah
kau suka menonton TV atau tidak, hanya
engkau selalu ke sana dan menghabiskan
banyak waktu setiap hari di depannya,
tanpa memikirkan apapun dan hanya
menikmati siaran yang ditampilkan,
hingga waktu-waktu untukKu dilupakan.

Kembali Aku menanti dengan sabar saat
engkau menikmati makananmu tetapi
kembali engkau lupa menyebut namaKu dan berterima kasih atas makanan yang telah Kuberikan.

Saat tidur Kufikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ke
tempat tidurmu dan tertidur tanpa sepatahpun namaKu kau sebut. Tidak
mengapa kerana mungkin engkau masih
belum menyadari bahwa Aku selalu hadir
untukmu.

Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. Aku bahkan ingin mengajarkan
bagai mana bersabar terhadap orang lain.
Aku sangat menyayangimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata darimu, ungkapan isi hatimu, namun tak kunjung tiba.

Baiklah ..... engkau bangun kembali dan
kembali Aku menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiKu sedikit waktu untuk menyapaKu...

Tapi yang Kutunggu ... ah tak juga kau
menyapaKu.
Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan
Subuh lagi kau masih tidak mempedulikan Aku.

Tak ada sepatah kata, tak ada seucap
doa, tak ada pula harapan dan keinginan untuk sujud kepadaKU...

Apakah salahKu padamu ...? Rezeki yang
Kulimpahkan, kesehatan yang Kuberikan,
Harta yang Kurelakan, makanan yang Kuhidangkan, Keselamatan yang Kukurniakan, Kebahagiaan yang Kuanugerahkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepadaKu???

Percayalah, Aku sangat mengasihimu, dan
aku tetap berharap suatu saat engkau akan menyapaKu, memohon perlindunganKu, bersujud menghadapKu..
Kembali kepadaKu..

Yang selalu bersamamu setiap saat...
TUHANmu...

KOTA KELAMIN

2 komentar

Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia betina yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.


Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.


Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Dia memperhatikan dadaku yang naik turun berirama. Bangun, katanya berbisik di telingaku. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik puting pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Dia membelai penisku, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangnya. Selamat pagi, katanya. Aku lelah semalaman, memasuki liang liurnya. Dan rupaku yang menegang berjam-jam, aku harus menembus liangmu berulang-ulang.


Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Penismu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya penis tanpa tegang. Apa jadinya vagina tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurku yang berlumur di penismu, bagaimana Tuhan menciptanya.


Dia memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, katanya menunjukkan padanya. Dan kamu seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.


Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.


Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi vagina pacarku, ia tertutup dan terbungkus di kantong sempaknya. Begitu pula penis, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat, ketika mengembang ia menjadi sesak, tak ada ruang baginya. Betapa tersiksanya menjadi penis. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.


Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.


Suatu hari, vagina pacarku memucat. Penisku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisku hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kataku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginanya, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanyaku pada pacarku. Ia menutup sendiri, katanya. Lihat, senyumnya tak ada lagi.


Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.


***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongannya. Serta dadanya yang semakin mengeras jika terserang virus nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak penisku yang lemas tak lagi menunjukkan kejantanannya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap penisku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.


Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.


Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vagina pacarku yang tiba-tiba datang dibalik pintu kamar gelapku.


Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.


Samar-samar kudengar suara vagina pacarku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.


Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.


Pacarku mengelus vaginanya. Dia buka celananya dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatnya pucat selama ini?


Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap penisku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.


Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.


Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Vaginanya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan vagina yang dipenuhi bulu yang tak lain adalah batu.


Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?


Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisku seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisku menunjuk-nunjuk ke arah kelaminnya. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vagina pacarku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Aku lekas meraih tubuh telanjang pacarku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.


Matanya menembus mata dan hatiku. Jariku merogoh liang gelap vaginanya yang sudah menganga. Aku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemariku. Lalu aku mencabutnya dan menggantikan dengan penisku yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Dia kembali menjadi serigala melolong. Aku menggigit seluruh tubuhnya. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun ternyata punya hati.

Nasihat Rasul Saw kepada Aisyah

0 komentar

Aisyah r.a meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda, “Hai Aisyah, aku nasihatkan kepada kamu. Hendaklah kamu sentiasa mengingat nasihatku ini. Sesungguhnya kamu akan sentiasa di dalam kebajikan selama kamu mengingati nasihatku ini…”
Isi nasihat Rasulullah kepada Aisyah adalah: “Hai Aisyah, peliharalah diri kamu. Ketahuilah bahwa sebagian besar daripada kaum kamu (kaum wanita) adalah menjadi kayu api di dalam neraka”.
Diantara sebab-sebabnya ialah mereka itu :
a) Tidak dapat menahan sabar dalam menghadapi kesakitan (kesusahan), yaitu tidak sabar apabila ditimpa musibah
b) Tidak memuji Allah Ta’ala atas kemurahan-Nya, yaitu apabila dikaruniakan nikmat dan rahmat tidak bersyukur.
c) Mengkufurkan nikmat, yaitu menganggap nikmat bukan dari Allah
d) Membanyakkan kata-kata yang sia-sia, yaitu banyak bicara yang tidak bermanfaat.
Wahai Aisyah, ketahuilah :
  1. Bahwa wanita yang mengingkari kebajikan (kebaikan) yang diberikan oleh suaminya, maka amalannya akan digugurkan oleh Allah
  2. Bahwa wanita yang menyakiti hati suaminya dengan lidahnya, maka pada hari kiamat Allah menjadikan lidahnya tujuh puluh hasta dan dibelitkan di tengkuknya.
  3. Bahwa isteri yang memandang jahat (menuduh atau menaruh sangkaan buruk terhadap suaminya), maka Allah akan menghapuskan muka dan tubuhnya pada hari kiamat.
  4. Bahwa isteri yang tidak memenuhi kemauan suaminya di tempat tidur atau menyusahkan urusan ini atau mengkhiananti suaminya, maka akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat dengan muka yang hitam, matanya kelabu, ubun-ubunnya terikat kepada dua kakinya di dalam neraka.
  5. Bahwa wanita yang mengerjakan sholat dan berdoa untuk dirinya tetapi tidak untuk suaminya, maka akan dipukul mukanya dengan sholatnya.Bahwa wanita yang dikenakan musibah ke atasnya lalu dia menampar-nampar mukanya atau merobek-robek pakaiannya, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka bersama dengan istri nabi Nuh dan istri nabi Luth dan tiada harapan mendapat kebajikan syafaat dari siapa pun.
  6. Bahwa wanita yang berzina akan dicambuk dihadapan semua makhluk di neraka pada hari kiamat, tiap-tiap perbuatan zina dengan lapan puluh kali cambuk dari api.
  7. Bahwa istri yang mengandung ( hamil ), baginya pahala seperti berpuasa pada siang harinya dan mengerjakan qiamullail pada malamnya serta pahala berjuang fi sabilillah.
  8. Bahwa istri yang bersalin ( melahirkan ), bagi tiap-tiap kesakitan yang dideritainya diberi pahala memerdekakan seorang budak. Demikian juga pahalanya setiap kali menyusukan anaknya.
  9. Bahwa wanita apabila bersuami dan bersabar dari menyakiti suaminya, maka diumpamakan dengan titik-titik darah dalam perjuangan fisabilillah.
Semoga ahlia-ahlia (istri-istri) kita dapat mengambil nasihat Rasulullah kepada Aisyah ini di dalam kehidupan mereka. Namun kita sebagai suami hendaklah selalu mendoakan agar ahli-ahlia (istri-istri) kita bersifat seperti istri-istri Nabi SAW, serta kita hendaklah juga selalu memaafkan kesalahan dan kekhilafan mereka.

Nasihat Rasul Saw kepada Fatimah Az Zahra

0 komentar

Ada sepuluh wasiat Rasulullah kepada putrinya Fatimah Az-Zahra, wasiat ini merupakan mutiara termahal nilainya, khususnya bagi setiap istri yang mendambakan kesalehan. Wasiat tersebut adalah:
  1. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, kelak Allah akan tetapkan baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang diadonnya, dan juga Allah akan melebur kejelekan serta meningkatkan derajatnya.
  2. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah akan menjadikan antara neraka dan dirinya tujuh tabir pemisah.
  3. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan kemudian mencuci pakaiannya, maka Allah akan tetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang.
  4. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang membantu kebutuhan tetangga-tetangganya, maka Allah akan membantunya untuk dapat meminum telaga Kautsar pada hari kiamat nanti.
  5. Wahai Fatimah! Yang lebih utama dari seluruh keutamaan di atas adalah keridhaan suami terhadap istri. Andaikata suamimu tidak ridha kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah Fatimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah.
  6. Wahai Fatimah! Disaat seorang wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah tetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, serta melebur seribu kejelakan. Ketika seorang wanita merasa sakit akan melahirkan, maka Allah tetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang Allah. Disaat seorang wanita melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika dia dilahirkan dari kandungan ibunya. Disaat seorang wanita meninggal karena melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikit pun, di dalam kubur akan mendapat taman yang indah yang merupakan bagian dari taman surga. Allah memberikan padanya pahala yang sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.
  7. Wahai Fatimah! Disaat seorang istri melayani suaminya selama sehari semalam dengan rasa senang dan ikhlas, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya dihari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Allah pun akan memberikan kepadanya pahala seratus kali ibadah haji dan umrah.
  8. Wahai Fatimah! Disaat seorang istri tersenyum di hadapan suaminya, maka Allah akan memandangnya dengan pandangan penuh kasih.
  9. Wahai Fatimah! Disaat seorang istri membentangkan alas! tidur untuk suaminya dengan rasa senang hati, maka para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
  10. Wahai Fatimah! Disaat seorang wanita meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggotnya dan memotong kumisnya serta kuku-kukunya, maka Allah akan memberi minuman yang dikemas indah kepadanya, yang didatangkan dari sungai-sungai surga. Allah pun akan mempermudah sakaratul maut baginya, serta menjadikan kuburnya bagian dari taman surga. Allah pun menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal mustaqim dengan selamat.

MEMBUNUH VIRUS NEOLIBERALISME DI TUBUH PERGURUAN TINGGI

0 komentar

Peningkatan mutu pendidikan adalah segala-galanya demi mewujudkan sebuah universitas yang memiliki daya saing secara global. Hanya saja yang menjadi persoalan, apakah untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah dan perguruan tinggi musti membebankan ongkosnya kepada masyarakat? Pemerintah, sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 61 tahun 1999, mengabsahkan kebijakan apapun yang diambil perguruan tinggi negeri dengan pertimbangan kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab perguruan tinggi tersebut sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Sementara itu dalam perspektif penyelenggara perguruan tinggi (PT), apapun yang menjadi kebijakan institusinya adalah berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Bagaimana pelaksanaannya?


Biaya = Jaminan Mutu?
Dari kebijakan privatisasi itulah kemudian PT berlomba-lomba menggalang dana melalui pelbagai modus. Beberapa di antaranya adalah; mengadakan jalur khusus untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru, menerapkan uang masuk yang sangat tinggi, menaikkan SPP per semester, membuka program ekstensi dan diploma, dan sebagainya. Walhasil, kebijakankebijakan yang menyulitkan masyarakat itupun digugat dan orientasi perguruan tinggi kembali dipertanyakan. Beberapa poin krusial yang memicu kritik dan kekecewaan tersebut antara lain:


Pertama, perguruan tinggi dipandang telah mengalami degradasi orientasi yang memprihatinkan; dari sifatnya yang nirlaba (lihat Ps. 2 PP No. 61 tahun 1999) menjadi institusi yang gandrung akan keuntungan ekonomis. Di sinilah salah satu virus neo-liberlisme itu bersemayam. Adagium yang tepat untuk menggambarkannya adalah; perburuan keuntungan semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminim mungkin. Hal ini ditandai oleh kenyataan bahwa uang lebih berharga ketimbang intelektualitas. Bayangkan, sekedar contoh, tahun lalu sekitar 300 hingga 500 calon mahasiswa ITB dijaring melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi dengan kewajiban membayar uang masuk sebesar Rp 45 juta (Kompas, 8 Mei 2003). Malahan, khusus di Departemen Teknik Fisika ITB, disediakan 10 bangku dengan biaya pendidikan masing-masing 25.000 dollar AS.


Kedua, pada dasarnya, pengubahan status PTN menjadi BHMN mempunyai semangat yang luhur, yakni: meningkatkan efisiensi, etos kerja, semangat pelayanan publik, komitmen untuk bersaing dan meningkatkan mutu. Akan tetapi pengejawantahan klaim tersebut jauh panggang dari api. Justeru, yang terjadi pasca privatisasi tersebut adalah terjadinya komersialisasi di mana-mana. Mereka yang tidak mampu terdiskriminasi. Akses perguruan tinggi yang berkualitas hanya dimiliki oleh mereka yang berduit.


Untuk menggambarkan hal ini, pernyataan Ir. Ciputra (2003), seorang pengusaha dan arsitek lulusan ITB, menarik disimak. Menurutnya, adalah wajar jika perguruan tinggi menjual satu bangku senilai 25.000 dollar AS. Sebab hal ini menandakan bahwa untuk kuliah di sekolah yang bermutu memang mebutuhkan biaya mahal. Dan akhirnya, mereka yang mampu secara intelektual tapi lemah secara finansial harus tersisih. Sebuah ironi terjadi ketika beberapa waktu lalu, seorang pemenang medali olimpiade biologi tingkat internasional gagal masuk UGM gara-gara tidak mampu membayar uang masuk. Parahnya, pihak universitas baru mengetahuinya setelah anak tersebut sudah masuk ke prguruan tinggi yang lain.


Ketiga, menggejalanya fenomena 'McDonaldisasi masyarakat' (McDonaldization of Society) di sektor pendidikan. Konsekuensinya, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai public goods, melainkan private goods. Swastanisasi pendidikan yang nota bene anak kandung neo-liberalisme tersebut, membuat perguruan tinggi begitu serius menggalang dana. Sementara di pihak lain, hal-hal yang berkenaan dengan mutu pendidikan diabaikan. Indikasi-indikasinya terhampar di depan mata. PT terutama yang berstatus BHMN mengalami kegamangan untuk menentukan arah universitasnya; apakah universitas riset (akademik) atau politeknik (profesional). Jika penyelenggara pendidikan tinggi bermaksud membangun universitas riset, maka penguatan jalur akademik adalah suatu keniscayaan. Langkah yang ditempuh adalah pengutamaan penerimaan di jenjang S1 hingga S3 ketimbang program diploma atau ekstensi. Kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang ramai-ramai membuka program ekstensi dan diploma (jalur profesional). Tujuannya tidak lain adalah untuk mendulang perolehan dana. Namun akibatnya, kualitas pendidikan menjadi korban.


Sebagaimana dicatat oleh Prof Dr. Ali Khomsan (2003), lulusan diploma yang kini jumlahnya semakin banyak malah berlomba-lomba untuk masuk jalur S1 dengan menambah waktu kuliah 2 tahun. Sementara perguruan tinggi yang mempunyai jalur S1 senang-senang saja menerima mereka karena umumnya bayaran SPP-nya lebih tinggi dari mahasiswa lainnya. Belum lagi keberadaan kelas-kelas eksekutif yang perkuliahannya cuma hari Jumat dan Sabtu dengan SPP yang lebih mahal. Kelas-kelas tersebut juga merupakan lumbung dana bagi perguruan tinggi.


Sedemikian kreatifnya, program pascasarjana pun kini begitu mudah menerima mereka yang bergelar MM untuk mengambil jalur akademik S3 dengan gelar doctor of philisophy (PhD). Apakah semua langkah ini masih bisa diklaim sebagai orientasi peningkatan mutu pendidikan? Jelas jawabannya adalah “tidak”.


Pendidikan Murah dan Berkualitas
Oleh karena itu, persoalan pendidikan harus dikembalikan lagi menjadi milik rakyat. Pendidikan yang berorientasi kerakyatan adalah pendidikan yang murah dengan mutu yang layak diandalkan. Pemerintahlah yang mempunyai tanggung jawab utama dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Tidak ada alasan bahwa pemerintah kekurangan dana untuk memberi subsidi. Betapa tidak adilnya ketika porsi APBN lebih banyak dipakai untuk membayar hutang luar negeri dan belanja militer, sementara anggaran untuk pendidikan ditelantarkan. Pemerintah dengan santainya mencicil utang mencapai 134 triliun per tahun, mengeluarkan ratusan miliar untuk menyangoni mantan pejabat BPPN, membiarkan para keruptor besar berkeliaran di luar negeri, membeli pesawat dan halikopter buat TNI, dan seterusnya.


Demikian pula bila dilihat dari tingkat pengeluaran pemerintah berbanding GDP. Indonesia termasuk negara yang memiliki pengeluaran (government expenditure) yang banyak. Menurut catatan Edi Suharto PhD (2003), seorang analis kebijakan publik, pada periode 1990-1995 saja, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3% dari GDP. Angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0%). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5%. Semantara Thailand mengeluarkan 19,8% dan Korea Selatan sejumlah 17,7%. Tampak jelas bahwa komitmen pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia ini sangat kurang dibanding negera-negara tetangga. Untuk masa yang akan datang, alokasi dana
pendidikan idealnya adalah 40% dari APBN. Itulah yang dilakukan Jepang pada masa Restorasi


Meiji dahulu, yang pada gilirannya, membawa Jepang ke era pencarahan, kemakmuran, dan peradaban baru yang original. Selain itu, mentalitas perguruan tinggi juga harus diperbarui. Isi harus lebih dipentingkan daripada kulit. Artinya, fokus perguruan tinggi pertama-tama bukanlah pembangunan gedung, penambahan aset, atau pengadaan fasilitas semegah mungkin. Penyiapan mentalitas, integritas, budaya, dan sumber daya jauh lebih urgen dibanding penampilan fisik kampus. Kondisi pendidikan di India (lihat, Kompas 21 Agustus 2004) adalah sebuah bukti. Perguruan Tinggi di sana, misalnya Indian Institute of Technology (IIT) Delhi, mempunyai reputasi yang sangat baik di tingkat internasional. Padahal, kampusnya sangat sederhana. Dimana letak keunggulannya? Mentalitas dan intergritas para pendidiknya. Mereka sangat akrab dan mudah ditemui mahasiswa. Semua dosennya bergelar doktor. Demikian pula dengan budaya akademiknya; etos belajar dan mengajarnya. Semua itu ditunjang lagi dengan biaya kuliah yang murah dan tersedianya kelengkapan fasilitas primer bagi mahasiswa seperti; perpustakaan yang lengkap koleksinya, akses internet gartis, dan sebagainya. Bisakah kita berubah seperti itu?