Halaman

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH

2 komentar

Pengantar
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah mainstream keagamaan, sepanjang sejarahnya selalu didukung oleh mayoritas umat Islam. Ini merupakan salah satu karakter par-exellence dalam kedirian Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, yaitu sawad al-a’dzam (kelompok mayoritas). Namun demikian, sebagai sebuah entitas keagamaan, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah menampilkan wajah yang membingungkan. Hal ini disebabkan kenyataan adanya perbedaan-perbedaan yang signifikan, dan bahkan pertentangan antar generasi dan antar komunitas yang sama-sama mengklaim sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Karena itu, menjadi kebutuhan kita bersama untuk mengurai Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam pengertian generik dan universalnya, untuk dapat membedakan dengan implementasi primordial dan sangat terbatas oleh kelompok atau komunitas tertentu terhadap entitas itu.


Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam Dinamika Sejarah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah merupakan identitas bagi komunitas yang menjauhkan diri dari konflik politik antar umat Islam, serta memilih lebih berkonsentrasi pada gerakan-gerakan kultural. Komunitas ini lahir pada era tabi’in dan berpusat pada tradisi ilmiah yang dikembangkan oleh Hasan al-Bishri. Tradisi ini melahirkan para cendekiawan seperti al-Asy’ari, al-Maturidzi, dan para Imam Madzhab empat. Marshall Hadgson dalam bukunya “The Venture of Islam”, menyebut fenomena ini sebagai “proto-sunnisme”.


Berikutnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah merupakan identitas dari para pendukung teologi yang dikembangkan Asy’ari. Az-Zabidi (salah satu murid Asy’ari) menyatakan: “Jika disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, maka yang dimaksud adalah pengikut Asy’ari”. Seperti diketahui, formulasi teologi Asy’ari merupakan jalan tengah diantara dua ekstremitas teologis ketika itu: Mu’tazilah dan Mujassimah ; Qadiriyah dan Jabbariyah. Akan tetapi yang delihatan dominan pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berhadap-hadapan dengan rasionalis Mu’tazilah.


Resistensi dari berkembangnya teologi Asy’ari, kemudian muncul dari kelompok skriptualis pendukung Ibn Hanbal. Pertentangan antara dua kelompok ini sangat tajam, hingga tidak hanya pada ranah pengembangan wacana dan saling mengkafirkan, tetapi sudah mulai mengarah kepada konflik fisik dan terbuka. Dengan demikian pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berposisi vis-à-vis Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’y di sisi yang lain.


Diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah mengalami pelembagaan era al-Qadir dan al-Ma’mun (abad 11 H) dari Dinasti Abbasyiyah. Dimulai dengan dikeluarkannya Risalah qadiriyah (al-Qadir Creed) yang memformalkan produk hukum empat madzhab (Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’I) sebagai hukum positif negara. Lembaga peradilan ketika itu, memakai kodifikasi hukum madzhab empat sebagai acuannya. Dan di atas semuanya itu, al-Mawardi sebagai ulama bermadzhab Syafi’i, diangkat sebagai Qadli al-Quddat (Hakim agung) yang berfungsi memutuskan persengketaan antar peradilan madzhab-madzhab, sekaligus sebagai konsultan hukum pemerintahan al-Qadir. Pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam posisi berhadap-hadapan dengan Syi’ah.


Pada era kontemporer, Ketika berkembang isu “pembaharuan Islam” yang secara teologis merujuk pada pemikiran Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (wahhabiyah), Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berposisi diametral dengan arus ini. Seperti diketahui, gerakan pembaharuan Islam bertumpu pada upaya purifikasi Islam yang digerakkan secara puritan, dengan mengambil referensi dominan skriptualisme Ibn Hanbal, Ibn Taymiyah, dan Ibn Qayyim al-Jawziyah. Mereka ini, dengan jargon “ruju’ ia al-Qur’an wa a-Sunnah” dan dengan klaim “muhyi atsari al-salaf”, ingin membongkar praktik-praktik keagamaan yang dianggap terkontaminasi budaya lokal dan ideologi diluar Islam. Kelompok pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam hal ini berpijak pada tradisi untuk membendung arus “pembaharuan” kalangan Wahhabiyah ini. Di sisi lain, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah juga menjadi respons atas gagasan modernisme yang cenderung mengadopsi pranata-pranata –termasuk paradigma yang berkembang di—Barat.


Meletakkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah secara Tepat
Pengalaman sejarah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam dinamika umat Islam era klasik sampai kontemporer, seperti terurai singkat di atas menggambarkan bahwa entitas ini menunjuk pada sistem keberagamaan moderat (al-tawasuth). Sehingga dengan demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah menolak segala bentuk ekstremitas pemikiran maupun gerakan keagamaan dan mencoba mencarikan jalan tengah sebagai solusi alternatif dari kecenderungan kedua ekstremitas.


Kendatipun demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga tidak serta merta jalan puritan sebagai bagian untuk memperjuangkan ideologi ini, karena puritanisme adalah bagian dari ekstremitas di satu sisi. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah lebih mengedepankan prinsip toleran (al-tasamuh) dalam melihat realitas keagamaan dan aktualisasinya yang berbeda-beda. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menampakkan wajahnya yang “geram” dan “garang” di dalam perang pemikiran (ghazw al-fikr).


Dalam konteks dinamika pemikiran Islam kontemporer, yang diwarnai dengan berbagai kecenderungan, pilihan terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah secara tipikal dapat diamati dari konsistensi memegangi kedua prinsip di atas. Secara tipikal, substansi pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dapat sama atau serupa dengan ideologi-ideologi dunia, atau merupakan perpaduan sisi-sisi tertentu dari kecenderungan berbeda ideologi-ideologi tersebut. Namun yang pasti di dalam pandangan dunia (world-view) Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, selalu menampakkan moderasi dan toleransinya. Karakter par-exellence ini, memang kadang-kadang menampakkan fleksibilitas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tetapi juga sangat rentan menimbulkan sikap opportunistik bagi kalangan pendukungnya, lebih-lebih dalam wilayah sosial, ekonomi, dan politik.


Sejarah panjang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juga membuktikan bahwa paham atau aliran ini selalu didukung oleh mayoritas umat. Hal ini, karena secara faktual, ia mampu berada di jalan tengah bagi setiap ektremitas. Oleh karena itulah di dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga ada prinsip al-Sawad al-A’dham (prinsip apresiasi –terhadap—mayoritas). Prinsip ini juga mengandaikan kebenaran di atas dukungan mayoritas umat, yang berkesesuaian dengan demokrasi modern. Akan tetapi, meminjam istilah Robert Pikney (1994), Demokrasi dimaksud tidak dalam kerangka radical democracy yang lebih mengutamakan logika dan prosedur di atas dasar mayoritas populasi, tetapi lebih didasarkan pada mayoritas politik (vote). makna formal demokrasi (the radicalization af formal democracy), seperti diungkap Brown (1988), dengan demikian tidak menjadi kecenderungan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, karena Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah lebih mengutamakan substansinya.


Kelompok-kelompok umat Islam yang menyatakan merupakan bagian dari pendukung paham atau aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini jumlahnya memang banyak, sebanyak perbedaan yang ada diantara kelompok-kelompok itu. Ini karena, Formulasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sampai saat ini memang belum tuntas. Sehingga implementasinya menimbulkan banyak varian. Tradisi keagamaan NU dengan rumusan “Aswaja”-nya, dalam hal ini adalah salah satu varian Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Sebagai sebuah ideologi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memang masih harus melalui prosesnya yang panjang, namun jika sebatas sebagai manhaj, prinsip-prinsip utama di atas, kiranya dapat dipertimbangkan.


Aswaja-NU: Pemahaman Singkat tentang Prinsip dan Ajarannya
Seperti dipaparkan di atas, Aswaja-NU adalah implementasi Ahlussunnah wa al-Jama’ah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.


Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Khurafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramayn. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.


Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziyarah qubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)


Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).


Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat. Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.


Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidzi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa kepengitutan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang. NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).


Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: ikhtilaf ummati rahmat, fa idza raiytum ikhtilaf fa’alaykum bi sawad al-a’dzam... (perbedaan di tengah ummatku adalah rahmat, karena itu jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).


Sikap kemasyarakatan seperti di ataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.

PROSES SEKULARISASI; Fenomena Kehidupan Masyarakat Modern

0 komentar

Sekedar Pengantar
Sekularisasi, secara topikal, merupakan diskursus penting, menarik, dan masih tetap relevan untuk memperbincangkan sehingga saat ini yang konon tengah memasuki era pasca modern. Hal ini, lantaran isu sekulerisasi bekaitan dengan ikhwal keberadaan, peran atau fungsi serta makna agama itu sendiri dalam realitas kehidupan manusia.
Paradigma yang digunakan dalam analisis proses sekulerisasi kali ini adalah paradigma sosiologis yang berupaya melihat sekulerisasi sebagai fakta sosial.


Proses sekulerisasi: Bentuk Dan Faktor Penyebab
Istilah sekulerisasi, secara konseptual, memiliki pengertian yang sangat beragam yang tergantung pada perspektif ilmu yang dipergunakan untuk memahaminya. Namun hal terpenting, menurut Robertson (1970), pemahaman dan penjelasan konsep atau definisi mengenai pemahaman itu sendiri. Dan dalam konteks ini, menurut Cohn (1969), secara sosiologis paling tidak terdapat tiga ketegori definisi operasional “agama” yang dapat dipergunakan memperjelaskan konsep dan proses sekulerisasi, yaitu definisi agama kategori institusional, normatif, dan kognitif.


Dilihat dari perspektif institusional, maka agama dapat dipandang sebagai suatu “organisasi”, wadah, atau lembaga. Yakni suatu bentuk sistem sosial yang dibentuk oleh para pengikutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empirik yang dipercayai dan dipergunakan untuk memperoleh keselamatan dirinya. Sebagai lembaga, galibnya, agama mempuyai kekuatan, wewenang, (authority) yang berperan mengurusi atau mengelola segenap aktifitas relijius. Di antaranya, agama mempuyai fungsi mengatur, melengkapi kebutuhan religius atau kebutuhan hidup berkaitan dengan nilai-nilai spiritual, moralitas, atau religiositas yang diperlukan para penganut atau angggota lembaganya. berdasarkan pada definisi agama yang diakarkan pada kategori institusional ini, maka proses sekulerisasi dalam realitasnya terwujud dalam bentuk kemerosotan atau kemunduran otoritas lembaga agama (decline of religious institution), diferensiasi lembaga agama, pemisahan atau pelepasan agama (disengagement of religious institution).


Dilihat dari perspektif normatif, dimana agama dikonsepsikan sebagai sistem norma atau sistem nilai yang berasal (bersumber) dari Tuhan atau kekuatan adikodrati yang diimaninya, maka proses sekulerisasi terlihat sebagai bentuk transformasi nilai/norma religius kearah sekuler, generalisasi nilai/norma religius, desentralisasi, dan sekularisme itu sendiri.


Kemudian, bila pengertian agam diakarkan pada sistem kognitif dimana agama dipersepsikan sebagai tradisi atau adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dipellihara, maka proses sekulerisasi dapat difahami sebagai proses meluntur atau menghilangnya nilai tradisi dalam kesadaran masyarakat atau individu. Dengan perkataan lain, sekulerisasi merupakan fenomena segmentasi tradisi keagamaan.


Proses sekulerisasi—apapun bentuknya—sebagai sosiokultural, secara historik, sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan pemikiran filosofis dan peradaban modern yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Secara tegas, Weber menyimpulkan proses sekulerisasi secara dominan disebabkan oleh proses rasionalisasi dan intelektualisasi yang terjadi dalam masyarakat modern (Gerth dan Mill, 1968). Selain itu, proses ini juga dipengaruhi oleh dipercepat oleh kemajuan iptek (Nisbet, 1970), oleh kompleksitas dan diferensiasi sistem social (Bellah, 1964), serta oleh perkembangan pemikiran filsafat modern seperti, matrealisme, pragmatisme, dan positivisme (Gallner,1964; dan Camte, 1876).


Arah (Kecenderungan) Sekulerisasi
Menurut penulis, terdapat dua bentuk arah (direction) atau kecenderungan proses sekulerisasi. Pertama, kecenderungan proses sekulerisasi ke arah bentuk rasionalisasi, dan kedua ke arah terbentuknya sekuralisme. Kecenderungan rasionalisasi lebih merupakan proses pengrasionalkan segenap persoalan berkaitan dengan agama atau keagamaan. Melalui ratio sebagai sarana intelektual tertinggi, masyarakat melakukan rasionalisasi terhadap realitas keagamaan. Masyarakat memahami dan menghayati serta memandang agama tidak lagi dengan iman atau kekuatan instingtual dan intuitif lainnya, tetapi melalui penalaran pertimbangan dan penilaian lewat commensense atau reason-nya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dinamika perkembangan filsafat modern serupa rasionalisme, empirisme, matrealisme, positivisme, pragmatisme, dan juga saintisme tampak merupakan faktor sosial-kultural dan sosio idiologis yang sangat kuat menstrukturir proses sekularisasi yang bermuara pada rasionalisasi.


Sementara itu, kecenderungan kearah sekularisme lebih mengarah kepada terbentuknya suatu ideologi humanistik baru yang cenderung menyangkal, menolak dan mengekslusi bahkan memusuhi keberadaan agama atau kehadiran Tuhan dalam kiprah kehidupan keseharian manusia di dunia. Hal ini, lantaran (bagi pengikut sekuralisme), agama dengan segenap implikasi praktisnya tidak lain dipersepasikan sebagai wujud yang bertentangan dengan nilai kemanusian.


Materialitas, positivitas, empirisitas, atau faktisitas serta metoda empiris yang digandrungi dan dijadikan titik tolak, tolak ukur, dan, modus operandi masyarakat modern, dalam kenyataanya memang, dapat menyebabkan lahirnya hasil pemikiran yang menolak dan mengingkari eksistensi Tuhan dan segenap ajaran metafisi, metasensoris, ataupun hal yang trasedental dan adikodrati.


Penutup
Demikian sekedar dekripsi tentang apa, bagaimana, mengapa, serta kemana proses sekulerisasi terjadi. Semoga, konsep tersebut secara teoritik dapat pula dijadikan untuk menggambarkan, menganalisis, atau mengukur realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang “konon” tengah menjalani modernisasi.


Sumber Bacaan :
  1. Bellah, R.N., “Religious Evolution”, dalam American Sociological Review.
  2. Cohn, W.m (1969), “On the Problem of Religiious in New Western Cultures”’ dalam International Yearbook for The Sociologi of Religion”, Vol. V
  3. Comte, A., (1987), System of Positive Polity, Trans. By Martineau.
  4. Gellner, E., (1974), “French Eighteenth Century Materialism”, dalam O. Connor (Ed.), A Critical History of Western Philosophy, London : Free Press Inc.
  5. Gert, H.H & Mill, C.W., (1968), From Max Weber : Essay in Siciology. London: Routledge dan Kegan Paul.
  6. Nisbet, R., (1970), The Social Bond: An Introduction to the Study of Society. New York : Alfred M Knoft Ltd.
  7. Robertson, R., (1970), The Sociological interpretation of Religion, Oxford : Basil: Blackwell.

Hargailah Istrimu

0 komentar

Tulisan ini aku persembahkan buat siapa saja yang mempunyai istri yang penyayang, mempunyai rasa kasih sayang yang ikhlas, yang tak lekang oleh waktu. Aku hanya bisa berpesan, hargailah istrimu, seperti kamu menuntut ingin dihargai
Bila malam sudah beranjak mendapati subuh, bangunlah sejenak. Lihatlah istrimu yang sedang terbaring letih menemani bayimu. Tataplah wajahnya yang masih dipenuhi oleh gurat-gurat kepenatan karena seharian ini badannya tak menemukan kesempatan untuk istirahat barang sekejap. Kalau saja tak ada air wudhu yang membasahi wajah itu setiap hari, barangkali sisa-sisa kecantikannya sudah tak ada lagi.
Sesudahnya, bayangkanlah tentang esok hari. Disaatmu sudah bisa merasakan betapa segar udara pagi, tubuh letih istrimu barangkali belum benar-benar menemukan kesegarannya.
Sementara anak-anak sebentar lagi akan meminta perhatian bundanya, membisingkan telinganya dengan tangis serta membasahi pakaiannya dengan pipis tak habis-habis. Baru berganti pakaian, sudah dibasahi pipis lagi. Padahal tangan istrimu pula yang harus mencucinya.

Disaat seperti itu, apakah yang kamu pikirkan tentang dia? Masihkah kamu memimpikan tentang seorang yang akan senantiasa berbicara lembut kepada anak-anaknya seperti kisah dari negeri dongeng sementara disaat yang sama kamu menuntut dia untuk menjadi istri yang penuh perhatian, santun dalam berbicara, lulus dalam memilih setiap kata serta tulus dalam menjalani tugasnya sebagai istri, termasuk dalam menjalani apa yang sesungguhnya bukan kewajiban istri tetapi dianggap sebagai kewajibannya.

Sekali lagi, masihkah kamu sampai hati mendambakan tentang seorang perempuan yang sempurna, yang selalu berlaku halus dan lembut? Tentu saja aku tidak tengah mengajakmu membiarkan istri membentak anak-anak dengan mata membelalak. Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu melihat bahwa tatkala tubuhnya amat letih, sementara suami tak pernah menyapa jiwanya, maka amat wajar kalau ia tak sabar.

Begitu pula manakala matanya yang mengantuk tak kunjung memperoleh kesempatan untuk tidur nyenyak sejenak, maka ketegangan emosinya akan menanjak. Disaat itulah jarinya yang lentik bisa tiba-tiba membuat anak menjerit karena cubitannya yang bikin sakit.
Apa artinya? Benar, seorang istri shalihah memang tak boleh bermanja-manja secara kekanak-kanakan, apalagi sampai cengeng. Tetapi istri shalihah tetaplah manusia yang membutuhkan penerimaan. Ia juga butuh diakui, meski tak pernah meminta kepadamu.

Sementara gejolak-gejolak jiwa memenuhi dada, butuh telinga yang mau mendengar. Kalau kegelisahan jiwanya tak pernah menemukan muaranya berupa kesediaan untuk mendengar, atau ia tak pernah kamu akui keberadaannya, maka jangan pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali dirimu sendiri jika ia tiba-tiba meledak.

Jangankan istrimu yang suaminya tidak terlalu istimewa, istri Nabi pun pernah mengalami situasi-situasi yang penuh ledakan, meski yang membuatnya meledak-ledak bukan karena Nabi SAW tak mau mendengarkan melainkan semata karena dibakar api kecemburuan. Ketika itu, Nabi SAW hanya diam menghadapi 'Aisyah yang sedang cemburu seraya memintanya untuk mengganti mangkok yang dipecahkan.

Ketika menginginkan ibu anak-anakmu selalu lembut dalam mengasuh, maka bukan hanya nasehat yang perlu kamu berikan. Ada yang lain. Ada kehangatan yang perlu kamu berikan agar hatinya tidak dingin, apalagi beku, dalam menghadapi anak-anak setiap hari. Ada penerimaan yang perlu kita tunjukkan agar anak-anak itu tetap menemukan bundanya sebagai tempat untuk memperoleh kedamaian, cinta dan kasih agung.

Ada ketulusan yang harus kamu usapkan kepada perasaan dan pikirannya, agar ia masih tetap mememilki energi untuk tersenyum kepada anak-anakmu, sepenat apapun ia.

Ada lagi yang lain : PENGAKUAN. Meski ia tak pernah menuntut, tetapi mestikah kamu menunggu sampai mukanya berkerut-kerut.

Karenanya, kamu kembali ke bagian awal tulisan ini. Ketika perjalanan waktu melewati tengah malam, pandanglah istrimu yang terbaring letih itu, lalu pikirkanlah sejenak, tak adakah yang bisa kamu lakukan sekedar mengucapkan terima kasih atau menyatakan dengan kata yang berbunga-bunga, bisa tanpa kata. Dan sungguh, lihatlah betapa banyak cara untuk menyatakannya. Tubuh yang letih itu, alangkah bersemangatnya jika di saat bangun nanti ada secangkir minuman hangat yang diseduh dengan dua sendok teh gula dan satu cangkir cinta.

Sampaikan kepadanya ketika matanya telah terbuka, "ada secangkir minuman hangat untuk istriku. Perlukah aku hantarkan intuk itu?"

Sulit melakukan ini? Ada cara lain yang bisa kamu lakukan. Mungkin sekedar membantunya meyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, mungkin juga dengan tindakan-tindakan lain, asal tak salah niat kita. Kalau kamu terlibat dengan pekerjaan di dapur, memandikan anak, atau menyuapi si mungil sebelum mengantarkannya ke TK, itu bukan karena gender-friendly; tetapi semata karena mencari ridha Allah, sebab selain niat ikhlas karena Allah, tak ada artinya apa yang kamu lakukan.

Kamu tidak akan mendapati amal-amalmu saat berjumpa dengan Allah di yaumil-qiyamah. Alaakullihal, apa yang ingin kamu lakukan, terserah kamu. Yang jelas, ada pengakuan untuknya, baik lewat ucapan terima kasih atau tindakan yang menunjukkan bahwa dialah yang terkasih. Semoga dengan kerelaanmu untuk menyatakan terima kasih, tak ada airmata duka yang menetes baginya, tak adal lagi istri yang berlari menelungkupkan wajah di atas bantal karena merasa tak didengar. Dan semoga pula dengan perhatian yang kamu berikan kepadanya, kelak istrimu akan berkata tentangmu sebagaimana Bunda 'Aisyah RA berucap tentang suaminya, Rasulullah SAW, "Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku".

Sesudah engkau puas memandangi istrimu yang terbaring letih, sesudah engkau perhatikan gurat-gurat penat di wajahnya, maka biarkanlah ia sejenak untuk meneruskan istirahatnya. Hembusan udara dingin yang mungkin bisa mengusik tidurnya, tahanlah dengan sehelai selimut untuknya.

Hamparkanlah ke tubuh istrimu dengan kasih agung dan cinta yang tak lekang oleh perubahan. Semoga engkau termasuk laki-laki yang mulia, sebab tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia.

Sesudahnya, kembalilah ke munajat dan tafakkurmu. Marilah kamu ingat kembali ketika Rasulullah SAW berpesan tentang istri. "wahai manusia, sensungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Ketahuilah." kata Rasulullah SAW melanjutkan. " kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan khitan Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurusi istri kalian. Aku wasiatkan atas kalian intuk selalu berbuat baik."

Kamu telah mengambil istrimu sebagai amanah dari Allah. Kelak kamu harus melaporkan kepada Allah Ta'ala bagaimana kamu menunaikan amanah dari-Nya. Apakah kamu mengabaikannya sehingga guratan-guratan dengan cepat menggerogoti wajahnya, jauh awal dari usia yang sebenarnya? Ataukah, kamu sempat tercatat selalu berbuat baik untuk istri.

Semoga kamu memberi ungkapan yang lebih agung untuk istrimu.