Halaman

PROSES SEKULARISASI; Fenomena Kehidupan Masyarakat Modern

0 komentar

Sekedar Pengantar
Sekularisasi, secara topikal, merupakan diskursus penting, menarik, dan masih tetap relevan untuk memperbincangkan sehingga saat ini yang konon tengah memasuki era pasca modern. Hal ini, lantaran isu sekulerisasi bekaitan dengan ikhwal keberadaan, peran atau fungsi serta makna agama itu sendiri dalam realitas kehidupan manusia.
Paradigma yang digunakan dalam analisis proses sekulerisasi kali ini adalah paradigma sosiologis yang berupaya melihat sekulerisasi sebagai fakta sosial.


Proses sekulerisasi: Bentuk Dan Faktor Penyebab
Istilah sekulerisasi, secara konseptual, memiliki pengertian yang sangat beragam yang tergantung pada perspektif ilmu yang dipergunakan untuk memahaminya. Namun hal terpenting, menurut Robertson (1970), pemahaman dan penjelasan konsep atau definisi mengenai pemahaman itu sendiri. Dan dalam konteks ini, menurut Cohn (1969), secara sosiologis paling tidak terdapat tiga ketegori definisi operasional “agama” yang dapat dipergunakan memperjelaskan konsep dan proses sekulerisasi, yaitu definisi agama kategori institusional, normatif, dan kognitif.


Dilihat dari perspektif institusional, maka agama dapat dipandang sebagai suatu “organisasi”, wadah, atau lembaga. Yakni suatu bentuk sistem sosial yang dibentuk oleh para pengikutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empirik yang dipercayai dan dipergunakan untuk memperoleh keselamatan dirinya. Sebagai lembaga, galibnya, agama mempuyai kekuatan, wewenang, (authority) yang berperan mengurusi atau mengelola segenap aktifitas relijius. Di antaranya, agama mempuyai fungsi mengatur, melengkapi kebutuhan religius atau kebutuhan hidup berkaitan dengan nilai-nilai spiritual, moralitas, atau religiositas yang diperlukan para penganut atau angggota lembaganya. berdasarkan pada definisi agama yang diakarkan pada kategori institusional ini, maka proses sekulerisasi dalam realitasnya terwujud dalam bentuk kemerosotan atau kemunduran otoritas lembaga agama (decline of religious institution), diferensiasi lembaga agama, pemisahan atau pelepasan agama (disengagement of religious institution).


Dilihat dari perspektif normatif, dimana agama dikonsepsikan sebagai sistem norma atau sistem nilai yang berasal (bersumber) dari Tuhan atau kekuatan adikodrati yang diimaninya, maka proses sekulerisasi terlihat sebagai bentuk transformasi nilai/norma religius kearah sekuler, generalisasi nilai/norma religius, desentralisasi, dan sekularisme itu sendiri.


Kemudian, bila pengertian agam diakarkan pada sistem kognitif dimana agama dipersepsikan sebagai tradisi atau adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dipellihara, maka proses sekulerisasi dapat difahami sebagai proses meluntur atau menghilangnya nilai tradisi dalam kesadaran masyarakat atau individu. Dengan perkataan lain, sekulerisasi merupakan fenomena segmentasi tradisi keagamaan.


Proses sekulerisasi—apapun bentuknya—sebagai sosiokultural, secara historik, sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan pemikiran filosofis dan peradaban modern yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Secara tegas, Weber menyimpulkan proses sekulerisasi secara dominan disebabkan oleh proses rasionalisasi dan intelektualisasi yang terjadi dalam masyarakat modern (Gerth dan Mill, 1968). Selain itu, proses ini juga dipengaruhi oleh dipercepat oleh kemajuan iptek (Nisbet, 1970), oleh kompleksitas dan diferensiasi sistem social (Bellah, 1964), serta oleh perkembangan pemikiran filsafat modern seperti, matrealisme, pragmatisme, dan positivisme (Gallner,1964; dan Camte, 1876).


Arah (Kecenderungan) Sekulerisasi
Menurut penulis, terdapat dua bentuk arah (direction) atau kecenderungan proses sekulerisasi. Pertama, kecenderungan proses sekulerisasi ke arah bentuk rasionalisasi, dan kedua ke arah terbentuknya sekuralisme. Kecenderungan rasionalisasi lebih merupakan proses pengrasionalkan segenap persoalan berkaitan dengan agama atau keagamaan. Melalui ratio sebagai sarana intelektual tertinggi, masyarakat melakukan rasionalisasi terhadap realitas keagamaan. Masyarakat memahami dan menghayati serta memandang agama tidak lagi dengan iman atau kekuatan instingtual dan intuitif lainnya, tetapi melalui penalaran pertimbangan dan penilaian lewat commensense atau reason-nya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dinamika perkembangan filsafat modern serupa rasionalisme, empirisme, matrealisme, positivisme, pragmatisme, dan juga saintisme tampak merupakan faktor sosial-kultural dan sosio idiologis yang sangat kuat menstrukturir proses sekularisasi yang bermuara pada rasionalisasi.


Sementara itu, kecenderungan kearah sekularisme lebih mengarah kepada terbentuknya suatu ideologi humanistik baru yang cenderung menyangkal, menolak dan mengekslusi bahkan memusuhi keberadaan agama atau kehadiran Tuhan dalam kiprah kehidupan keseharian manusia di dunia. Hal ini, lantaran (bagi pengikut sekuralisme), agama dengan segenap implikasi praktisnya tidak lain dipersepasikan sebagai wujud yang bertentangan dengan nilai kemanusian.


Materialitas, positivitas, empirisitas, atau faktisitas serta metoda empiris yang digandrungi dan dijadikan titik tolak, tolak ukur, dan, modus operandi masyarakat modern, dalam kenyataanya memang, dapat menyebabkan lahirnya hasil pemikiran yang menolak dan mengingkari eksistensi Tuhan dan segenap ajaran metafisi, metasensoris, ataupun hal yang trasedental dan adikodrati.


Penutup
Demikian sekedar dekripsi tentang apa, bagaimana, mengapa, serta kemana proses sekulerisasi terjadi. Semoga, konsep tersebut secara teoritik dapat pula dijadikan untuk menggambarkan, menganalisis, atau mengukur realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang “konon” tengah menjalani modernisasi.


Sumber Bacaan :
  1. Bellah, R.N., “Religious Evolution”, dalam American Sociological Review.
  2. Cohn, W.m (1969), “On the Problem of Religiious in New Western Cultures”’ dalam International Yearbook for The Sociologi of Religion”, Vol. V
  3. Comte, A., (1987), System of Positive Polity, Trans. By Martineau.
  4. Gellner, E., (1974), “French Eighteenth Century Materialism”, dalam O. Connor (Ed.), A Critical History of Western Philosophy, London : Free Press Inc.
  5. Gert, H.H & Mill, C.W., (1968), From Max Weber : Essay in Siciology. London: Routledge dan Kegan Paul.
  6. Nisbet, R., (1970), The Social Bond: An Introduction to the Study of Society. New York : Alfred M Knoft Ltd.
  7. Robertson, R., (1970), The Sociological interpretation of Religion, Oxford : Basil: Blackwell.