Halaman

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH

2 komentar

Pengantar
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah mainstream keagamaan, sepanjang sejarahnya selalu didukung oleh mayoritas umat Islam. Ini merupakan salah satu karakter par-exellence dalam kedirian Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, yaitu sawad al-a’dzam (kelompok mayoritas). Namun demikian, sebagai sebuah entitas keagamaan, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah menampilkan wajah yang membingungkan. Hal ini disebabkan kenyataan adanya perbedaan-perbedaan yang signifikan, dan bahkan pertentangan antar generasi dan antar komunitas yang sama-sama mengklaim sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Karena itu, menjadi kebutuhan kita bersama untuk mengurai Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam pengertian generik dan universalnya, untuk dapat membedakan dengan implementasi primordial dan sangat terbatas oleh kelompok atau komunitas tertentu terhadap entitas itu.


Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam Dinamika Sejarah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah merupakan identitas bagi komunitas yang menjauhkan diri dari konflik politik antar umat Islam, serta memilih lebih berkonsentrasi pada gerakan-gerakan kultural. Komunitas ini lahir pada era tabi’in dan berpusat pada tradisi ilmiah yang dikembangkan oleh Hasan al-Bishri. Tradisi ini melahirkan para cendekiawan seperti al-Asy’ari, al-Maturidzi, dan para Imam Madzhab empat. Marshall Hadgson dalam bukunya “The Venture of Islam”, menyebut fenomena ini sebagai “proto-sunnisme”.


Berikutnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah merupakan identitas dari para pendukung teologi yang dikembangkan Asy’ari. Az-Zabidi (salah satu murid Asy’ari) menyatakan: “Jika disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, maka yang dimaksud adalah pengikut Asy’ari”. Seperti diketahui, formulasi teologi Asy’ari merupakan jalan tengah diantara dua ekstremitas teologis ketika itu: Mu’tazilah dan Mujassimah ; Qadiriyah dan Jabbariyah. Akan tetapi yang delihatan dominan pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berhadap-hadapan dengan rasionalis Mu’tazilah.


Resistensi dari berkembangnya teologi Asy’ari, kemudian muncul dari kelompok skriptualis pendukung Ibn Hanbal. Pertentangan antara dua kelompok ini sangat tajam, hingga tidak hanya pada ranah pengembangan wacana dan saling mengkafirkan, tetapi sudah mulai mengarah kepada konflik fisik dan terbuka. Dengan demikian pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berposisi vis-à-vis Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’y di sisi yang lain.


Diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah mengalami pelembagaan era al-Qadir dan al-Ma’mun (abad 11 H) dari Dinasti Abbasyiyah. Dimulai dengan dikeluarkannya Risalah qadiriyah (al-Qadir Creed) yang memformalkan produk hukum empat madzhab (Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’I) sebagai hukum positif negara. Lembaga peradilan ketika itu, memakai kodifikasi hukum madzhab empat sebagai acuannya. Dan di atas semuanya itu, al-Mawardi sebagai ulama bermadzhab Syafi’i, diangkat sebagai Qadli al-Quddat (Hakim agung) yang berfungsi memutuskan persengketaan antar peradilan madzhab-madzhab, sekaligus sebagai konsultan hukum pemerintahan al-Qadir. Pada era ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam posisi berhadap-hadapan dengan Syi’ah.


Pada era kontemporer, Ketika berkembang isu “pembaharuan Islam” yang secara teologis merujuk pada pemikiran Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (wahhabiyah), Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah berposisi diametral dengan arus ini. Seperti diketahui, gerakan pembaharuan Islam bertumpu pada upaya purifikasi Islam yang digerakkan secara puritan, dengan mengambil referensi dominan skriptualisme Ibn Hanbal, Ibn Taymiyah, dan Ibn Qayyim al-Jawziyah. Mereka ini, dengan jargon “ruju’ ia al-Qur’an wa a-Sunnah” dan dengan klaim “muhyi atsari al-salaf”, ingin membongkar praktik-praktik keagamaan yang dianggap terkontaminasi budaya lokal dan ideologi diluar Islam. Kelompok pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam hal ini berpijak pada tradisi untuk membendung arus “pembaharuan” kalangan Wahhabiyah ini. Di sisi lain, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah juga menjadi respons atas gagasan modernisme yang cenderung mengadopsi pranata-pranata –termasuk paradigma yang berkembang di—Barat.


Meletakkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah secara Tepat
Pengalaman sejarah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam dinamika umat Islam era klasik sampai kontemporer, seperti terurai singkat di atas menggambarkan bahwa entitas ini menunjuk pada sistem keberagamaan moderat (al-tawasuth). Sehingga dengan demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah menolak segala bentuk ekstremitas pemikiran maupun gerakan keagamaan dan mencoba mencarikan jalan tengah sebagai solusi alternatif dari kecenderungan kedua ekstremitas.


Kendatipun demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga tidak serta merta jalan puritan sebagai bagian untuk memperjuangkan ideologi ini, karena puritanisme adalah bagian dari ekstremitas di satu sisi. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah lebih mengedepankan prinsip toleran (al-tasamuh) dalam melihat realitas keagamaan dan aktualisasinya yang berbeda-beda. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menampakkan wajahnya yang “geram” dan “garang” di dalam perang pemikiran (ghazw al-fikr).


Dalam konteks dinamika pemikiran Islam kontemporer, yang diwarnai dengan berbagai kecenderungan, pilihan terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah secara tipikal dapat diamati dari konsistensi memegangi kedua prinsip di atas. Secara tipikal, substansi pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dapat sama atau serupa dengan ideologi-ideologi dunia, atau merupakan perpaduan sisi-sisi tertentu dari kecenderungan berbeda ideologi-ideologi tersebut. Namun yang pasti di dalam pandangan dunia (world-view) Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, selalu menampakkan moderasi dan toleransinya. Karakter par-exellence ini, memang kadang-kadang menampakkan fleksibilitas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tetapi juga sangat rentan menimbulkan sikap opportunistik bagi kalangan pendukungnya, lebih-lebih dalam wilayah sosial, ekonomi, dan politik.


Sejarah panjang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juga membuktikan bahwa paham atau aliran ini selalu didukung oleh mayoritas umat. Hal ini, karena secara faktual, ia mampu berada di jalan tengah bagi setiap ektremitas. Oleh karena itulah di dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga ada prinsip al-Sawad al-A’dham (prinsip apresiasi –terhadap—mayoritas). Prinsip ini juga mengandaikan kebenaran di atas dukungan mayoritas umat, yang berkesesuaian dengan demokrasi modern. Akan tetapi, meminjam istilah Robert Pikney (1994), Demokrasi dimaksud tidak dalam kerangka radical democracy yang lebih mengutamakan logika dan prosedur di atas dasar mayoritas populasi, tetapi lebih didasarkan pada mayoritas politik (vote). makna formal demokrasi (the radicalization af formal democracy), seperti diungkap Brown (1988), dengan demikian tidak menjadi kecenderungan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, karena Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah lebih mengutamakan substansinya.


Kelompok-kelompok umat Islam yang menyatakan merupakan bagian dari pendukung paham atau aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini jumlahnya memang banyak, sebanyak perbedaan yang ada diantara kelompok-kelompok itu. Ini karena, Formulasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sampai saat ini memang belum tuntas. Sehingga implementasinya menimbulkan banyak varian. Tradisi keagamaan NU dengan rumusan “Aswaja”-nya, dalam hal ini adalah salah satu varian Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Sebagai sebuah ideologi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memang masih harus melalui prosesnya yang panjang, namun jika sebatas sebagai manhaj, prinsip-prinsip utama di atas, kiranya dapat dipertimbangkan.


Aswaja-NU: Pemahaman Singkat tentang Prinsip dan Ajarannya
Seperti dipaparkan di atas, Aswaja-NU adalah implementasi Ahlussunnah wa al-Jama’ah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.


Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Khurafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramayn. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.


Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziyarah qubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)


Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).


Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat. Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.


Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidzi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa kepengitutan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang. NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).


Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: ikhtilaf ummati rahmat, fa idza raiytum ikhtilaf fa’alaykum bi sawad al-a’dzam... (perbedaan di tengah ummatku adalah rahmat, karena itu jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).


Sikap kemasyarakatan seperti di ataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.
waduh..mas..menawi...kulo rantos nggeh..wejangan panjenengan dateng warung mangke... menawi panjenengan rawuh...
Jannn...tenan...katah istilah ingkang enggal kagem kulo, mas..
matur suwun
ayo ayo.. tangan kanan pegang cangkir kopi, tangan kiri pegang counter :D :D