Halaman

MEMBUNUH VIRUS NEOLIBERALISME DI TUBUH PERGURUAN TINGGI

0 komentar

Peningkatan mutu pendidikan adalah segala-galanya demi mewujudkan sebuah universitas yang memiliki daya saing secara global. Hanya saja yang menjadi persoalan, apakah untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah dan perguruan tinggi musti membebankan ongkosnya kepada masyarakat? Pemerintah, sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 61 tahun 1999, mengabsahkan kebijakan apapun yang diambil perguruan tinggi negeri dengan pertimbangan kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab perguruan tinggi tersebut sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Sementara itu dalam perspektif penyelenggara perguruan tinggi (PT), apapun yang menjadi kebijakan institusinya adalah berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Bagaimana pelaksanaannya?


Biaya = Jaminan Mutu?
Dari kebijakan privatisasi itulah kemudian PT berlomba-lomba menggalang dana melalui pelbagai modus. Beberapa di antaranya adalah; mengadakan jalur khusus untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru, menerapkan uang masuk yang sangat tinggi, menaikkan SPP per semester, membuka program ekstensi dan diploma, dan sebagainya. Walhasil, kebijakankebijakan yang menyulitkan masyarakat itupun digugat dan orientasi perguruan tinggi kembali dipertanyakan. Beberapa poin krusial yang memicu kritik dan kekecewaan tersebut antara lain:


Pertama, perguruan tinggi dipandang telah mengalami degradasi orientasi yang memprihatinkan; dari sifatnya yang nirlaba (lihat Ps. 2 PP No. 61 tahun 1999) menjadi institusi yang gandrung akan keuntungan ekonomis. Di sinilah salah satu virus neo-liberlisme itu bersemayam. Adagium yang tepat untuk menggambarkannya adalah; perburuan keuntungan semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminim mungkin. Hal ini ditandai oleh kenyataan bahwa uang lebih berharga ketimbang intelektualitas. Bayangkan, sekedar contoh, tahun lalu sekitar 300 hingga 500 calon mahasiswa ITB dijaring melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi dengan kewajiban membayar uang masuk sebesar Rp 45 juta (Kompas, 8 Mei 2003). Malahan, khusus di Departemen Teknik Fisika ITB, disediakan 10 bangku dengan biaya pendidikan masing-masing 25.000 dollar AS.


Kedua, pada dasarnya, pengubahan status PTN menjadi BHMN mempunyai semangat yang luhur, yakni: meningkatkan efisiensi, etos kerja, semangat pelayanan publik, komitmen untuk bersaing dan meningkatkan mutu. Akan tetapi pengejawantahan klaim tersebut jauh panggang dari api. Justeru, yang terjadi pasca privatisasi tersebut adalah terjadinya komersialisasi di mana-mana. Mereka yang tidak mampu terdiskriminasi. Akses perguruan tinggi yang berkualitas hanya dimiliki oleh mereka yang berduit.


Untuk menggambarkan hal ini, pernyataan Ir. Ciputra (2003), seorang pengusaha dan arsitek lulusan ITB, menarik disimak. Menurutnya, adalah wajar jika perguruan tinggi menjual satu bangku senilai 25.000 dollar AS. Sebab hal ini menandakan bahwa untuk kuliah di sekolah yang bermutu memang mebutuhkan biaya mahal. Dan akhirnya, mereka yang mampu secara intelektual tapi lemah secara finansial harus tersisih. Sebuah ironi terjadi ketika beberapa waktu lalu, seorang pemenang medali olimpiade biologi tingkat internasional gagal masuk UGM gara-gara tidak mampu membayar uang masuk. Parahnya, pihak universitas baru mengetahuinya setelah anak tersebut sudah masuk ke prguruan tinggi yang lain.


Ketiga, menggejalanya fenomena 'McDonaldisasi masyarakat' (McDonaldization of Society) di sektor pendidikan. Konsekuensinya, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai public goods, melainkan private goods. Swastanisasi pendidikan yang nota bene anak kandung neo-liberalisme tersebut, membuat perguruan tinggi begitu serius menggalang dana. Sementara di pihak lain, hal-hal yang berkenaan dengan mutu pendidikan diabaikan. Indikasi-indikasinya terhampar di depan mata. PT terutama yang berstatus BHMN mengalami kegamangan untuk menentukan arah universitasnya; apakah universitas riset (akademik) atau politeknik (profesional). Jika penyelenggara pendidikan tinggi bermaksud membangun universitas riset, maka penguatan jalur akademik adalah suatu keniscayaan. Langkah yang ditempuh adalah pengutamaan penerimaan di jenjang S1 hingga S3 ketimbang program diploma atau ekstensi. Kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang ramai-ramai membuka program ekstensi dan diploma (jalur profesional). Tujuannya tidak lain adalah untuk mendulang perolehan dana. Namun akibatnya, kualitas pendidikan menjadi korban.


Sebagaimana dicatat oleh Prof Dr. Ali Khomsan (2003), lulusan diploma yang kini jumlahnya semakin banyak malah berlomba-lomba untuk masuk jalur S1 dengan menambah waktu kuliah 2 tahun. Sementara perguruan tinggi yang mempunyai jalur S1 senang-senang saja menerima mereka karena umumnya bayaran SPP-nya lebih tinggi dari mahasiswa lainnya. Belum lagi keberadaan kelas-kelas eksekutif yang perkuliahannya cuma hari Jumat dan Sabtu dengan SPP yang lebih mahal. Kelas-kelas tersebut juga merupakan lumbung dana bagi perguruan tinggi.


Sedemikian kreatifnya, program pascasarjana pun kini begitu mudah menerima mereka yang bergelar MM untuk mengambil jalur akademik S3 dengan gelar doctor of philisophy (PhD). Apakah semua langkah ini masih bisa diklaim sebagai orientasi peningkatan mutu pendidikan? Jelas jawabannya adalah “tidak”.


Pendidikan Murah dan Berkualitas
Oleh karena itu, persoalan pendidikan harus dikembalikan lagi menjadi milik rakyat. Pendidikan yang berorientasi kerakyatan adalah pendidikan yang murah dengan mutu yang layak diandalkan. Pemerintahlah yang mempunyai tanggung jawab utama dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Tidak ada alasan bahwa pemerintah kekurangan dana untuk memberi subsidi. Betapa tidak adilnya ketika porsi APBN lebih banyak dipakai untuk membayar hutang luar negeri dan belanja militer, sementara anggaran untuk pendidikan ditelantarkan. Pemerintah dengan santainya mencicil utang mencapai 134 triliun per tahun, mengeluarkan ratusan miliar untuk menyangoni mantan pejabat BPPN, membiarkan para keruptor besar berkeliaran di luar negeri, membeli pesawat dan halikopter buat TNI, dan seterusnya.


Demikian pula bila dilihat dari tingkat pengeluaran pemerintah berbanding GDP. Indonesia termasuk negara yang memiliki pengeluaran (government expenditure) yang banyak. Menurut catatan Edi Suharto PhD (2003), seorang analis kebijakan publik, pada periode 1990-1995 saja, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3% dari GDP. Angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0%). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5%. Semantara Thailand mengeluarkan 19,8% dan Korea Selatan sejumlah 17,7%. Tampak jelas bahwa komitmen pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia ini sangat kurang dibanding negera-negara tetangga. Untuk masa yang akan datang, alokasi dana
pendidikan idealnya adalah 40% dari APBN. Itulah yang dilakukan Jepang pada masa Restorasi


Meiji dahulu, yang pada gilirannya, membawa Jepang ke era pencarahan, kemakmuran, dan peradaban baru yang original. Selain itu, mentalitas perguruan tinggi juga harus diperbarui. Isi harus lebih dipentingkan daripada kulit. Artinya, fokus perguruan tinggi pertama-tama bukanlah pembangunan gedung, penambahan aset, atau pengadaan fasilitas semegah mungkin. Penyiapan mentalitas, integritas, budaya, dan sumber daya jauh lebih urgen dibanding penampilan fisik kampus. Kondisi pendidikan di India (lihat, Kompas 21 Agustus 2004) adalah sebuah bukti. Perguruan Tinggi di sana, misalnya Indian Institute of Technology (IIT) Delhi, mempunyai reputasi yang sangat baik di tingkat internasional. Padahal, kampusnya sangat sederhana. Dimana letak keunggulannya? Mentalitas dan intergritas para pendidiknya. Mereka sangat akrab dan mudah ditemui mahasiswa. Semua dosennya bergelar doktor. Demikian pula dengan budaya akademiknya; etos belajar dan mengajarnya. Semua itu ditunjang lagi dengan biaya kuliah yang murah dan tersedianya kelengkapan fasilitas primer bagi mahasiswa seperti; perpustakaan yang lengkap koleksinya, akses internet gartis, dan sebagainya. Bisakah kita berubah seperti itu?