Halaman

Kecoak Minum Kopiku

0 komentar

Bergiliran masuk. Antre. Satu persatu semut-semut berbaris rapi. Lurus cita-cita mereka. Di benak mereka, hanya ada satu tujuan. Sisa secangkir kopi yang tergeletak di atas meja belajarku. Dengan mengacuhkanku, mereka tetap berjalan. Aku yang melihat mereka dianggap sama sekali tak ada. Padahal yang kutahu mereka sama denganku. Punya mata. Mungkin mereka tidak melihat. Mungkin juga stereotip pemikiran mereka tak pernah ada kata takut untuk mati. Atau memang mereka berbaik sangka terhadap keberadaanku? Santai dan cuek?

Bisa saja kuambil sapu dan kuusir mereka dari sana. Lalu datang seekor kecoak. Bukan seekor tapi dua ekor sekaligus. Tanpa basa basi mereka langsung melompat ke dalam gelas. Plung! Berenang dalam kubangan hitam sisa kopi. Semut terdepan yang memimpin rombongan berdiam sejenak. Semua semut otomatis berhenti. Tapi tak terjadi kecelakaan beruntun. Dipandangi terus gelas. Mereka mengamati gerak-gerik kecoak yang menikmati kopi. Sepasang kecoak itu asyik sekali. Tapi mereka tak sadar bahwa para semut sedang mengawasi aktivitas mereka. Rupanya sisa kopiku masih terasa enak untuk sepasang kecoak yang mungkin sedang berbulan madu itu.
Setelah mengamati dengan seksama akhirnya pemimpin rombongan mengambil inisiatif. Satu komando untuk tetap maju dan merebut sisa kopiku. Langkah tegap mereka menderu. Barisan sepanjang satu meter membentuk bulatan tekad. Sisa kopi harus bisa dikuasai jika ingin hidup yang lebih baik. Tak ada yang menolak ajakan itu. Semua setuju. Mati bukanlah hal yang menakutkan. Tapi hal yang harus diperjuangkan.

Keceriaan terpancar di wajah mereka. Para prajurit semut. Harapan tinggi membumbung. Pasang kuda-kuda. Ada beberapa semut yang sempat menulis surat wasiat untuk keluarga mereka. Ada juga yang menulis untuk kekasih hati mereka.

“Sayang, jika surat ini sampai kepadamu mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini. Tapi tenang saja. Tegar saja. Masih banyak semut lain yang ingin bersanding denganmu. Jika aku mati aku pasti akan masuk surga. Itu kata pemimpin kami. Aku berjuang demi kehidupan yang lebih baik untuk semut-semut di wilayah kita. Sayang, sekali lagi jangan tangisi kepergianku. Aku akan menunggumu di surga. Aku harus bisa mengalahkan kecoak-kecoak sialan itu…..”

Salah seekor kecoak melihat pasukan semut yang berdatangan. Dia panik dan memberitahu pasangannya bahwa pasukan semut datang dengan yel-yel perang. Sepasang kecoak itu lantas berusaha keluar dari dalam gelas. Tapi percuma. Gelasku terlalu tinggi dan perut mereka sudah terlalu banyak minum sisa kopiku. Mereka tetap berusaha sekuat tenaga sambil berdoa supaya semut-semut itu tidak datang dan membunuh mereka. Rupanya gelasku sudah bercampur air dan itu membuat kecoak kewalahan. Terlalu licin untuk naik ke permukaan.

Sampailah semut di depan gelasku. Mereka tidak langsung menyerang. Tapi berhenti sejenak. Pemimpin mereka maju ke depan. Berteriak lantang dan memberi waktu para kecoak untuk segera meninggalkan gelasku. Kecoak-kecoak itu berusaha menjawab tapi gelasku yang terbuat dari kaca membuat suara mereka tak terdengar oleh pimpinan semut. Pimpinan semut memberi waktu maksimal lima menit untuk para kecoak. Keringat kecoak mengucur deras dan membuat gelas semakin licin hingga sulit untuk dipanjat.

Waktu telah habis. Segera para semut menyerbu masuk ke dalam gelas. Pemimpin mereka berada di barisan terdepan. Dengan semangat membara, mereka menggempur para kecoak itu. Kecoak wanita tak berdaya dan mati meninggalkan pasangannya terlebih dulu. Sebagai seekor wanita, walaupun tubuhnya lebih besar daripada semut, ia tetaplah makhluk yang lemah secara fisik. Aliran air keluar dari mata kecoak laki-laki. Dia tak tahan melihat pasangannya tersiksa. Ia berusaha untuk bangkit dan membunuh pasukan semut. Tapi ternyata pasukan semut terlalu tangguh untuknya. Dia tidak sanggup lagi. Kematian pasangannya membuatnya semakin lemah. Selanjutnya ia menyusul pasangannya. Ke tempat yang abadi.

Pasukan semut bersorak sorai. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Hebatnya tidak ada satu ekor semutpun yang mati. Hanya beberapa yang mengalami luka ringan dibagian kaki. Latihan mereka selama berbulan-bulan membuahkan hasil yang memuaskan. Gegap gempita menyambut kemenangan telak tanpa perlawanan. Kesuksesan yang luar biasa dan diperoleh dengan cara yang sangat mudah pula.

Kedatangan mereka disambut penuh haru oleh keluarga masing-masing. Semut-semut wanita dan anak-anak menyambut kedatangan orang-orang tercinta mereka. Pasukan semut tidak hanya membawa kemenangan tapi juga sisa kopiku yang telah mereka olah sebelumnya hingga lebih mudah untuk dibawa. Menurut mereka kopi yang bercampur gula lebih nikmat dan menyehatkan dibanding gula murni yang belum tercampur apa-apa.

Pesta segera digelar. Koloni warga semut semua berkumpul di lapangan. Ada yang berbahagia rupanya. Sepasang semut berpeluk mesra di sudut lapangan. Ada juga keluarga yang mengharu biru. Ayah-ayah mereka pulang dengan hadiah yang besar. Jasa para semut segera dikenang. Semua pasukan semut, tak terkecuali, mendapat piagam penghargaan dari ratu sekaligus pimpinan perang mereka. Genderang besar ditabuh menandakan malam itu dan malam-malam selanjutnya adalah milik mereka.

Perjanjian dengan koloni kecoak sudah disepakati. Bahwa seisi kamar kosku adalah wilayah untuk semut. Jika masih terlihat satu dua kecoak berlalu lalang maka konsekwensinya adalah mati dan membusuk. Koloni nyamuk adalah musuh mereka selanjutnya. Tapi mereka tidak saling serang hanya karena sisa makanan. Nyamuk menyerang darahku. Sedangkan semut mengincar nyamuk-nyamuk yang sudah tak berdaya karena tekanan kipas anginku. Mereka membunuh nyamuk untuk dijadikan makanan. Tapi persaingan itu tak terlalu besar.

Sisa kopi yang telah diolah dibagikan kepada semua warga semut sesuai dengan jasa mereka masing-masing. Bagi keluarga yang ikut berperang maka mendapat bagian lebih. Sedangkan untuk semut wanita dan anak-anak mendapat jatah sesuai ukuran tubuh mereka. Setelah acara sambutan-sambutan dari para pembesar semut maka acara yang ditunggu segera tiba. Acara makan malam kemenangan. Aba-aba dari sang ratu berkumandang. Dan semua warga semut menikmati kopi olahan tersebut.

Lahap sekali. Senang sekali. Enak sekali. Tapi selang beberapa waktu seekor semut kecil memuntahkan kopi olahan. Bukan hanya kopi tapi kopi bercampur darah. Lalu disusul oleh ibunya. Lalu ayahnya. Lalu keluarga semut di sebelahnya. Lalu semut-semut yang lain. Lalu semuanya lemas. Darah mengucur lewat mulut mereka. Semua terkulai. Seekor semut kecil tadi mati. Disusul kerabatnya dan semut-semut yang lain. Ratu yang melihat kejadian ini berusaha memuntahkan semua isi perutnya. Percuma. Zat-zat beracun yang berasal dari dalam tubuh kecoak sudah terlanjur bercampur. Hal ini tidak disadari oleh tim ilmuwan dari koloni semut.
Rupanya mereka terlena oleh kemenangan. Tanpa mereka sadari tak sepenuhnya kemenangan dari peperangan membawa kabahagiaan. Bahkan bisa saja membawa kesedihan berkepanjangan.

“Kecoak minum kopiku!!!!!!” teriak ratu semut di detik-detik akhir ajal menjemputnya.