Halaman

Wedhang Kopi

6 komentar

Wedhang Kopi
Tiga cangkir dalam sehari aku meminumnya. Laksana menelan obat bila mengingat rasa pahitnya. Pahit yang menyembuhkan. Rasa khas yang membuatku kecanduan kafeinnya. Menghirup dalam-dalam aroma yang menyusup lewat lubang udara di rongga hidungku. Menikmati mekarnya dadaku oleh embun yang kuhembuskan di bibir cangkir. Seduhan gula dan gilingan halus bubuk kopi telah disatukan air dalam secangkir putih di awal pagiku. Hidupku sekedar menunggu giliran sehabis cangkir kesatu, ke cangkir kedua, ketiga dan seterusnya. Itu pun masih harus disurutkan maknanya pada kuncup kedua bibir yang menjadi pembuka lidah merasa. Laksana aliran air di gorong-gorong menuju muara.

Aku penggila minuman warisan purba. Kecantikan termegah bagiku adalah jemari lentik dari tangan seorang wanita. Gemulai mencucuk seujung sendok bubuk pekat untuk dibawa ke sebuah cangkir berisi gula. Kepulan air mendidih bergemericik menyiram dasar cangkirnya.
Alunan musik terindah adalah denting suara sendok beradu dengan dinding gelas. Bak musik akapela. Sendok jelmaan garpu tala beradu bening kaca mengharmonisasi tanpa perlu titi nada. Desir sendok diputar mengalunkan pusaran meresap dan menentramkan jiwa. Menunggu kopi diseduh sebelum disuguhkan adalah detik-detik menunggu kelahiran. Kerinduan mendebarkan layaknya menanti kelahiran yang menyirnakan kesabaran.

Detik menanti secangkir kopi dipangkuan adalah kegelisahan onani sang perjaka. Kegirangan oleh semai kenikmatan terlarang dan hasrat yang belum lagi nyata diwujudkan. Lenggokan siluet tubuh wanita terangkat tinggal nampan di depan dadanya. Tubuh dan wajahnya melesap seakan tinggal lenggokan asap dari kawah cangkir dengan liukan yang sungguh menggoda.

Malamku dikembungkan oleh panas kopi pinggir jalan. Bukan kopi Starbuck di
mall-mall, atau waralaba yang membawa nama besar negara asalnya di Barat sana. Aku hanya ingin kopi kelas bangsa sambil merenung untuk bernostalgia. Arabika. Afrikana. Hibrida yang pernah berjaya mendatangkan devisa. Meski biji-bijinya sehitam berlian kelam negeri asalnya, bukan tunas di tanah tumpah darah tapi pernah terlahir sebagai primadona. Ia ditanam oleh para petani inti perkebunan rakyat dengan pemerintah sebagai sponsor utama.

Lewat secangkir wedhang kopi kutelusuri kesilaman. Aroma yang tumbuh dari bernasnya jiwa yang dilimpahi kasih sayang tuk merajut persaudaraan. Kopi sebagai perantara jiwa bagai mampu menghayatinya. Bertahun lalu, dunia yang minim kalkulasi matrik keuangan, suguhan wedhang kopi menjadi simpul kebersamaan. Minuman yang meleburkan dua titik beda dalam satu kesatuan. Putih mensifati kemanusian yang lahir dalam kesucian. Hitam, kecenderungan manusia tuk menyimpang dari jiwa penciptaan. Hitam tak jadi berasa pahit jika putih bisa menetralkannya. Keduanya menjadi lezat untuk membumbui kehidupan.

Barjo, karipku, dipertemukan dengan Asih calon istrinya juga lewat segelas kopi. Asih mengantarkan nampan minuman ke ruang tamu kala itu. Pandangan mereka dipisah dan diluluhkan pada secangkir kopi di nampan. Temu pertama yang disambut ikrar dihadapan penghulu menjadikan Barjo begitu bangga. Menjadi cerita yang selalu diulang-ulang oleh Barjo setiap kami berkumpul untuk reuni di hari kelima tiap lebaran tiba
, pun aku, dipertemukan dengan RedRose istriku juga lewat secangkir kopi.

Kopi persaudaraan, kopi penghormatan terasa makin langka. Kopi sekarang instan. Sasetan hanya untuk perorangan. Untuk dinikmati dan diseduh sendirian. Dihirup hangat-hangat untuk melepas kepenatan pada sepanjang hari yang melelahkan, saat mengumpulkan uang diperantauan untuk mudik lebaran. Kopi instan, membuat peminumnya tak lagi kecanduan. Faham individual menjadikan kopi sebatas selingan. Tak lagi disruput untuk menghidupkan kejiwaan yang sarat dengan guyub kebersamaan.

Bersih
desa, gotong-royong dimasa aku dulu menghirup aroma bocah. Kini tak menyisakan keakraban antar warganya. Hukum permakluman dan rotasi uang kini yang marak menghiasi dinamika desa kami. Uang menjadi kompensasi lumrah pengganti diri di tiap pertemuan. Hari minggu adalah libur untuk lepas dari segala kepenatan. Uang yang dihasilkan biarlah disisihkan untuk keamanan, petugas kebersihan, dan mengganti kebersamaan dengan orang-orang sekitar.

Teko yang berjalan dengan kesukarelaan saat grebek desa berlangsung hanya sebuah nostalgia. Tanpa komando masyarakat mengikatkan keikhlasan pada kewajiban dan kasih pada orang lain. Kopi mengikat semua dalam jeda dan canda penduduk desa. Istirahat berpeluh keringat melepaskan ego untuk untung perseorangan demi maslahat bersama.

Aku rindu. Kubayangkan istriku akan terlempar ke masa lalu. Ia terdampar di pelosok desa. Berkemben di depan tungku untuk menggoreng kopi kesukaanku. Aroma menyengat menyesakkan biji kopi menguap dari penggorengan tanah yang terbakar api tungku. Asap kemana-mana. Suasana magis menyebalkan akan menyebar ke seantero belahan desa.

Peluh akan meleleh di keningnya. Ia berjongkok. Kadang berdiri. Menutu kopi dengan alu di lumpang batu. Syahdu. Akan kunikmati eksotisme tubuhnya yang meliuk mengayunkan tongkat kayu untuk menumbuk kopi. Kan kupejamkan mata, kusesap habis jiwanya yang larut dalam tumbukan alu dan batu yang berirama. Aroma kelezatan kopi telah mengaliri jiwa sebelum seduhannya disuguhkan. Bubuk hitam tak menitiskan wangi kembang, sebaliknya menitikkan aroma hitam tajam khasnya. Peluh, pengabdian, kerelaan atau mungkin ketiadaan pilihan lain pekerjaan wanita membuatnya mampu meramu segenap rasa pada sejumput halus bubuk kopi yang ia suguhkan.

Pada warung kopi
Bagaimana nanti aku melampiaskan kekangenanku pada Mbok Nah? Janda baya beranak lima yang menggantungkan hidupnya pada warung kopi. Warung bambu usang, dengan sinar listrik temaram. Malam, kami biasa bercengkrama di sana. Pakdhe Marto paling doyan banyol. Paklek Sukro intelektual kuno lulusan Sekolah Ongko Loro zaman Belanda, Sekolah Rakyat. Politik etis penjajah sedikit mencerahkannya, tapi masih dilengkapi mentalitas lama, priyayi ndeso. Beragam orang berkumpul di warung itu tiap malam untuk mengobrolkan tetek bengek kehidupan.

Segelas kopi tubruk atau secangkir kopi lalapan menjadi teman setia kami. Kopi kental, panas dan pahit, disandingkan dengan gula merah di tatakan cangkirnya. Seteguk kopi yang dicegah untuk ditelan. Disisakan dipangkal tenggorokan untuk dipadu dengan segigitan gula merah. Nikmat klasik menyerbu tanpa mampu dicegah. Ketagihan. Disinilah tiap sehabis petang kuhabiskan masa-masa
itu.

Kini, ekstasi segelas kopi menjadi satu obsesi. Melahirkan kerinduan liris. Menyisihkan rasa ngeri demi bertahan menunda kematian menjelang. Harapan tersisa yang harus diperjuangkan. Termasuk mencegah diri untuk tak lagi mencintai minuman berkafein tinggi. Jantungku tak lagi mampu memompa, jika kafein memacu darahku mengalir lebih cepat ke bilik-serambinya.

Kadar gula ini juga harus dijaga. Insulin mesti selalu dinormalkan dalam hitungan yang selalu tepat. Menjauhnya segala nikmat tak membuatku begitu penat untuk menekurinya dalam kedukaan. Wedhang kopi kini kurindui tidak dalam masa tahunan, tiga ratus enam puluh lima hari. Kutafakuri ditiap detik untuk kuharapkan ku
teguk lagi.[]
aku cemburu pada cawan yang kau cumbu, bibirmu seharusnya mengecup dan memesrai di bibirku

*twingggg :D
Sayyang.. wonten award (dolanan blog) hihihi.. di cek nggeh ten blog kulo :*
ehem.,ehemm., gak mau ngganggu ah! entar dikira nyamuk! uhuii... pasutri coffeeholic! misiiii... dr warung kopi sbelah, cuma mau ngambil gelas kosongnya aja! hahaha...
uhuk uhuk.... tante uswah masak masih cemburu... tenang aja tiap malem juga di kecup ma suami hahahaa.. kalau saya sehari semalam bisa 5 - 6 gelas om..
monggo monggo.. bungkus 1 lagi yaa