Halaman

Tanyalah udang, mengapa bersembunyi di balik batu

0 komentar


 Tanyalah udang, mengapa bersembunyi di balik batu? Pasti jawabannya, “Kami tidak bersembunyi, itu rumah kami. Rumah kami luas tak bertembok tebal, tak berpagar tinggi seperti rumah kalian makhluk manusia. Kami menyukai sungai jernih berarus yang berbatu-batu. Kami hidup tenteram di sana, sampai kalian mengejar-ngejar. Puluhan bahkan mungkin ratusan ekor teman kami di ujung kali kalian tangkap tiap hari.”

“Kami tidak bodoh seperti yang kalian sangka. Bahkan kami bisa berjalan mundur dan melompat ke belakang dengan sangat cepat. Apa kalian bisa melakukannya? Otak kami berbeda konstruksinya dengan otak kalian. Sistem otak kami disebut sistem syaraf tangga tali. Sebuah sistem syaraf yang sangat sederhana, terbuat dari dua tali syaraf. Andai nama kita di balik, kalian yang hidup di gedung-gedung itu yang bernama udang dan makhluk yang hidup di sela-sela bebatuan di sungai itu bernama manusia, maka udang yang tolol akan dijuluki udang berotak manusia. Iya kan?”

Panjang juga ceramah udang ini. Percaya? Untuk membuktikannya tanya sama udang di balik batu. Makhluk yang bernama manusia, memang kurang kerjaan membuat peribahasa, “Ada udang di balik batu.” Itu berarti setiap ada batu, pasti ada udang di sebaliknya. Padahal belum tentu ada udang. Makna peribahasa itu, kalau udang tahu, pasti mereka tertawa terpingkal-pingkal, sampai bertambah seksi bungkuk punggungnya. Ada udang di balik batu bermakna, orang yang berpura-pura baik, namun sebenarnya ada maksud terselubung. Orang tersebut tidak tulus. Ada agenda-agenda tersembunyi yang disusupkan.

Seorang yang tidak biasa-biasanya beranjangsana, tiba-tiba rajin berkeliling keluar masuk
kampung, lengkap dengan buah tangannya, pasti ada maksud sesuatu. Barangkali sedang mencari calon menantu, Atau sedang survei calon istri nomor dua atau tiga. Dana bantuan sosial APBD yang dibagikan oleh penguasa atau politisi selalu diiringi dengan pesan-pesan sponsor. Mana ada makan siang gratis, kata orang bule. Hubungan aksi-reaksi seperti itu sangat tepat digambarkan dalam pribahasa, ada udang di balik batu. Ada harapan yang lebih besar atau lebih menguntungkan dari suatu perbuatan atau budi yang ditanam. Kalau tujuan yang tersembunyi itu tidak mengorbankan kepentingan umum, tidak jadi masalah. Tapi bila maksud tersembunyi itu sarat dengan kepentingan pribadi, maka udang di balik batu menjadi negatif.

Udang juga punya stigma negatif dengan otaknya. Bukan karena otaknya berada di dengkul, sebab udang tidak punya dengkul. Tapi masalahnya, kepala udang berfungsi sebagai perut, atau dengan kata lain perutnya ada di kepala, dan tentu saja “perut” ini berisi segala macam makanan,baik yang baru maupun yang lama. Ternyata tidak semua tengkorak kepala makhluk hidup di bumi ini berisi otak, seperti pemahaman umum manusia. Udang pengecualian, tengkoraknya tidak berisi otak tapi makanan. Entah apa rahasisanya. Oleh karena itu orang yang bodoh sering disebut berkepala udang.

Perihal kepalanya yang berisi makanan, konon dianggap aib bagi udang, sehingga ketika udang menertawai ikan karena tidak punya jepitan, ikan langsung membalas kontan dengan jurus jitu. Udang tak punya kepala yang bisa berpikir sehingga udang tidak bisa membedakan berjalan ke depan atau berjalan mundur. Udang juga berbadan bungkuk, dan udang sering tak sadar akan bungkuknya. Tapi aneh bin ajaib, makhluk laki-laki dewasa yang bernama manusia, justru sering tergila-gila mencari si bungkuk udang. Alamaaak.

Toilet (bersama) Pria (dan Wanita)

0 komentar

Pipis Sambil Bersiul dan Tangan di Belakang 

Sebenarnya cukup dengan logo icon lelaki saja signage itu sudah membuat orang tahu bahwa itu kamar kecil pria. Tapi si desainer ingin mempertegas. Maka memancurlah air dari bagian di bawah perut si pria. Eh, masih kurang. Sambil pipis, si pria itu bersiul — atau berdendang. Tapi, oh, ibarat naik sepeda dia malah los setang dan tangannya di belakang.

Seandainya dalam prakteknya itu terjadi betulan, Mas Klining serpis pasti akan kerepotan. Terlalu banyak urine yang “slaha fkous”. Berceceran, begitulah kira-kira.

Tidak, tidak. Saya tidak sedang bercabulria. Ini soal biasa. Katakanlah rahasia umum pria yang belum tentu dipahami wanita muda yang malu-malu mencari tahu. Kenapa toilet bersama — maksud saya dipakai bergantian oleh pria dan wanita — sering mengundang uring-uringan kaum hawa, karena pria pengguna toilet terkesan jorok?

Di dunia pria ada olok-olok, “Kencing aja belom lempeng udah mau…”. Titik-titik bisa diganti “kawin”, “ndaftar caleg”, “jadi ketua partai”, “jadi presiden”, atau “jadi lelananging (toilet) jagat”. Konon tak semua pria dilatih untuk terfokus saat pipis, itulah sebabnya desain urinoir mereka bukan berupa kloset atau bidet wkwkwkk

Masalah pengendalian justru penting pada saat pancuran pertama dan penutup. Yang pertama bisa terlalu kuat. Yang terakhir (penutup), karena seperti fading out lagu, membutuhkan penyesuaian arah bidik moncong senapan. Itulah yang menimbulkan ceceran.

Ibu-ibu juga bisa marah jika ada ceceran urine di kamar kecil, baik dari anak laki-lakinya maupun suami. Dalam keadaan ngantuk karena terjaga dari tidur, sehingga mata kurang awas, sementara selang kepriaan menegak dengan gagahnya, maka arah pancuran urine bisa jadi kurang terkendali.

Nah, kembali ke logo icon pintu toilet tadi, pria yang pipis sambil bersiul, mana tangannya los setang pula, pastilah orang terlatih — bahkan bersertifikat. Artinya kita perlu kasih salut ke pengelola Sutos Surabaya, si empunya toilet itu, karena telah menyebarkan niat pintar pipis bagi pria.

Lantas bagaimana dengan logo icon pada pintu toilet wanita-nya?


Kalo yang ini biarlah yang lebih ahli yang menjelaskan. Saya hanya heran kenapa posisi pipisnya seperti hampir terjengkang, atau setidaknya nggeblak. Apa karena terpental oleh pantulan dorongan jet shower dari tubuhnya ya? Hahaaa.. aneh-aneh

Mengamati Bakul Obat Keliling

2 komentar

MENIKMATI AKTING DAN RETORIKA DENGAN CASING MITASI


“Maaf saudara-saudara, kalo ada perempuan yang menghina saya bisa saya buat menari telanjang di depan saya lalu dia minta saya jadikan istri. Padahal istri saya sudah dua, umur saya baru dua puluh tujuh…”

Maaf itu bukan ucapan persis. Hanya merangkum serpihan ingatan, dari melihat tontonan yang sudah berjalan. Jadi bisa saja kutipan saya telah mengubah nuansa dan melenceng dari konteks.

Menyenangkan sekali, Jumat sore kemarin tanpa sengaja, selagi berjalan-jalan keluar masuk-kampung, saya mendapatkan kerumunan orang di atas lahan proyek perumahan, di pinggir jalan raya. Mereka menonton atraksi seorang penjual obat yang menyebut diri Pak Suratman. Saya cukup menikmatinya. 


Lelaki muda itu khatam segala ilmu retorika. Selayaknya aktor pentas dia tahu persis bagaimana ‘menyihir’ penonton. Dia seperti menggenggam udara sekitar yang dihembuskan dan dihirup lagi oleh kerumunan. Tutur katanya meyakinkan. Aktingnya pun menghanyutkan.

Yang lebih penting lagi, dia tahu mendayagunakan mikrofon dan spiker corong. Suara badai, ombak, dan halilintar dia keluarkan dari mulutnya pada saat yang tepat — termasuk menjelang dan setelah (seolah-olah) melafalkan mantera. Mirip pendongeng.

Menyenangkan. Lama saya tak menonton seperti itu. Menghibur dan menegangkan. Maka berkatalah dia kepada seorang penonton, “Saudara dari mana? Asli sini? Coba pinjam helmnya, nanti saya kirim ke rumah.”


 Helm berpindah tangan. Oleh asisten Pak Suratman helm itu ditaruh di atas peti. Kemudian kotak besar berbahan kain (seperti bilik TPS) mengerudungi kotak dan helm itu.

Pak Suratman menghadapkan telapaknya ke bilik TPS. Mikrofon menyalurkan desau angin dari mulutnya. Bilik itu tergetar, lalu terguncang. Lantas asisten mengangkat bilik TPS. Seperti umumnya sulap, helm itu telah raib. Tampik sorak membahana.

Bilik TPS dan meja kayu itu sejak awal mengundang penasaran saya. Ketika saya datang, TPS sedang diangkat. Di atas kotak ada karung goni kecil yang tepiannya terjahit tali. Kata Pak Suratman isinya lebih kecil daripada jenglot (si manusia mini tua).

Tahap demi tahap perpindahan karung itu sangat dramatis. Diselingi cerita. Mirip cara pesulap. Ada juga peringatan untuk para perekam adegan melalui ponsel penonton, bahwa sesampainya di rumah gambar-gambar mereka sudah terhapus.

Apakah isi karung kecil itu? Sabar. Pak Suratman bercerita tentang aneka penyakit yang akan sirna setelah minum obat yang dibawanya. Kencing batu sampai lumpuh akibat stroke akan tersembuhkan. Jika tidak, “Biarlah dua tangan saya menjadi satu!”


Asisten menunjukkan piring berisi kapsul kehijauan. Pak Suratman katakan, jika di antara hadirin ada yang dari BPOM maka dia akan buktikan bahwa yang dibawanya adalah obat.

Sore semakin berat. Saya harus kembali pulang, jalan kaki. Apa boleh buat, saya belum tahu apa isi karung itu. Saya juga belum mendapatkan testimoni apakah helm yang raib dalam bilik TPS itu sudah tiba di rumah pemiliknya.

Andaikan semua penonton menggunakan Twitter mungkin akan lebih seru — kecuali karena kebetulan, atau malah karena kegaiban, semua baterai peranti genggam kehabisan daya.

Lama Nggak Posting Itu Enggak Sesuatu Banget!

2 komentar

Iklan mie versi ayamku mana mode on|| Aku: “Bloooooooooogku….., dik dik Postinganku mana?????”
Adik: “Sudah posting dulu sana, ada ide sedap apa ketik saja!”
Iklan pulsa mode one || Aku: “Aku gak punya ideeeeeeeeeeee”
Adik: “macam mana kau itu, katamu ide itu sederhana!!!!
Iklan pulsa mode on || Aku: “dik, aku mau kedukun gandaain ide”
Adik: “kalau mau ide tidak begitu caranya!”
Syahrini mode on || Aku: “kasih sesuatulah dik”
Adik: “Terdiam Tanpa Posting Itu Enggak Sesuatu Banget!, tulis saja: sesuatu yang ada di hatimu, tulis juga sesuatu yang ada dalam benak kamu, buat dirimu membayangkan sesuatu.
Iklan pulsa mode on || Aku: “adik aku sudah punya ideeeeeee”
Adik: “ide itu memang sederhananya enggak pura-pura”

Ah, intro yang aneh padahal cuma mau bilang Lama Nggak Posting Itu Enggak Sesuatu Banget! bayangin aja beberapa hari menjalin hubungan tanpa posting (padahal OL tiap hari), cuma duduk, klik ini itu tak jelas, tiba-tiba jam online akan segera habis. Ternyata beginilah rasanya jika hanya diam tanpa posting. Apa mungkin gara-gara kesibukan yang bertambah? Ceritanya hari ini baru datang dari perpustakaan Bung Karno. Alhasil, dapat banyak inspirasi dan jepretan2 (nggak penting).

Ada-ada lagi sesuatu hari ini, ada yang chat nanya-nanya gak jelas:
Dia: mas..
Aku: ya
Dia: kamu bisa ramal ga? aku mau tau masa depanku
Aku: wani piro? (dalam hatiku, ini orang gak akrab gak apa tiba2 mengira aku ini dukun)
Dia: piro ae, jadi apa aku lima tahun kedepan?
Aku: sekarang masih kuliah? (pura2 sok kenal juga aku)
Dia: baru lulus bulan ini
Aku: bulan kemarin ngapain kok baru lulus bulan ini
Dia: siap2 lulus, ayo cepetan aku jadi apa? (dalam hatiku, udah nganggur gak sabaran pula)
Aku: jurusan apa
Dia: pendidikan, tapi ga ingin berkarir di pendidikan, ga mau kerja, maunya jadi bos, maunya bantu banyak orang, cepetan aku mau tau hasilnya (dalam hatiku, ibarat iklan rokok, dia ini pengen ganteng, ingin ku jawab ngimpi tapi gak tega)
Aku: 1. Kalo gak mau berkarir di pendidikan gak masalah, asal gak berkarir jadi dokter, 2. Gak mau kerja tapi pengen jadi bos? (akeh tunggale nek ngunu kui) 3. Maunya bantu banxak orang; rajin2 ikut gotong royong.
Dia: aku nanyanya 5 tahun ke depan aku jd apa, bukan nanya PPKN, itu pelajaran SD kalo PPKN, iso jawab ora? (dalam hatiku, model kayak gini kalo jadi bos kasian yang dibosi)
Aku: yang 123 diatas bukan hasil ramalan, itu baru analisa, mau besok atau lima taon kedepan kalau maunya cuma gitu2 aja ya gak akan jadi apa2 kecuali pengangguran titik
Dia: aku nanya jadi apa, ga mudeng arek iki, jawaban orisinil dunk jgn dari analisa, katanya kamu sakti (dalam hatiku, sori ya aku bukan dukun murni jadi tak punya jawaban orisinil, aku itu modelnya emang suka nganalisa gitu)
Aku: Sudah saia jawab jadi pengangguran, sopo seng ngomong aku sakti
Dia: aku seng ngomong, jawaban tidak memuaskan nilai 0 (dalam hatiku, salae sopo ngomong2 yen aku sakti, anda tidak puas dengan jawaban saia? Rasakno!!!!)

Wes ah, itulah kumpulan kejadian aneh yang terangkum ke dalam postingan yang aneh pula, yang sedemikian rupanya itu adalah dari pada diam tanpa posting karena Lama Nggak Posting Itu Enggak Sesuatu Banget! dan ini juga merupakan pembuktian bahwa sesungguhnya ide itu gak harus kreatif karena ide itu sederhana, apapun itu ketik saja, ketik sekarang atau lupa titik!

(sedikit) Cemburu

0 komentar

Mereka wanita mulia yang tidak ingin berkorban
Untuk pengekornya yang ada di debu-debu jalanan
 
Mereka lemah lembut tatkala berdua dihadapan suaminya
Penuh rasa malu tatkala keluar dari tempat tinggalnya
 
Tak mengusik perhatian setiap lelaki yang ada disekitarnya
Perhatiannya hanya cukup untuk yang halal baginya 

Karena mereka mengerti arti sebuah cinta
Tak seperti orang yang hanya bisa sembunyi dibalik selimut auratnya
 
Sampai saat ini yang ku tahu engkau masih seperti mereka
 
Malumu begitu besar
Hingga mungkin para perindumu kau buat kesal oleh tingkahmu
 
Tak bermudah-mudahan untuk berdekatan dengan yang haram bagimu
Karena engkau tahu sang ilahy selalu mengawasi di setiap waktu hidupmu
 
Sedangkan jika Allah sudah menetapkan seseorang yang halal untukmu
Tak mau engkau buat cemburu dirinya
 
Karena ia sedang menunggumu di batas waktu itu
Semoga tak kan kudapatkan pandangan yang membuatku jadi cemburu nantinya
 
Cemburu akan rusaknya tekad yang telah engkau ukir selama ini
Dan ketahuilah, sebesar apa pun kecemburuan itu
 
Allah lah yang lebih cemburu terhadapmu

Wedhang Kopi

6 komentar

Wedhang Kopi
Tiga cangkir dalam sehari aku meminumnya. Laksana menelan obat bila mengingat rasa pahitnya. Pahit yang menyembuhkan. Rasa khas yang membuatku kecanduan kafeinnya. Menghirup dalam-dalam aroma yang menyusup lewat lubang udara di rongga hidungku. Menikmati mekarnya dadaku oleh embun yang kuhembuskan di bibir cangkir. Seduhan gula dan gilingan halus bubuk kopi telah disatukan air dalam secangkir putih di awal pagiku. Hidupku sekedar menunggu giliran sehabis cangkir kesatu, ke cangkir kedua, ketiga dan seterusnya. Itu pun masih harus disurutkan maknanya pada kuncup kedua bibir yang menjadi pembuka lidah merasa. Laksana aliran air di gorong-gorong menuju muara.

Aku penggila minuman warisan purba. Kecantikan termegah bagiku adalah jemari lentik dari tangan seorang wanita. Gemulai mencucuk seujung sendok bubuk pekat untuk dibawa ke sebuah cangkir berisi gula. Kepulan air mendidih bergemericik menyiram dasar cangkirnya.
Alunan musik terindah adalah denting suara sendok beradu dengan dinding gelas. Bak musik akapela. Sendok jelmaan garpu tala beradu bening kaca mengharmonisasi tanpa perlu titi nada. Desir sendok diputar mengalunkan pusaran meresap dan menentramkan jiwa. Menunggu kopi diseduh sebelum disuguhkan adalah detik-detik menunggu kelahiran. Kerinduan mendebarkan layaknya menanti kelahiran yang menyirnakan kesabaran.

Detik menanti secangkir kopi dipangkuan adalah kegelisahan onani sang perjaka. Kegirangan oleh semai kenikmatan terlarang dan hasrat yang belum lagi nyata diwujudkan. Lenggokan siluet tubuh wanita terangkat tinggal nampan di depan dadanya. Tubuh dan wajahnya melesap seakan tinggal lenggokan asap dari kawah cangkir dengan liukan yang sungguh menggoda.

Malamku dikembungkan oleh panas kopi pinggir jalan. Bukan kopi Starbuck di
mall-mall, atau waralaba yang membawa nama besar negara asalnya di Barat sana. Aku hanya ingin kopi kelas bangsa sambil merenung untuk bernostalgia. Arabika. Afrikana. Hibrida yang pernah berjaya mendatangkan devisa. Meski biji-bijinya sehitam berlian kelam negeri asalnya, bukan tunas di tanah tumpah darah tapi pernah terlahir sebagai primadona. Ia ditanam oleh para petani inti perkebunan rakyat dengan pemerintah sebagai sponsor utama.

Lewat secangkir wedhang kopi kutelusuri kesilaman. Aroma yang tumbuh dari bernasnya jiwa yang dilimpahi kasih sayang tuk merajut persaudaraan. Kopi sebagai perantara jiwa bagai mampu menghayatinya. Bertahun lalu, dunia yang minim kalkulasi matrik keuangan, suguhan wedhang kopi menjadi simpul kebersamaan. Minuman yang meleburkan dua titik beda dalam satu kesatuan. Putih mensifati kemanusian yang lahir dalam kesucian. Hitam, kecenderungan manusia tuk menyimpang dari jiwa penciptaan. Hitam tak jadi berasa pahit jika putih bisa menetralkannya. Keduanya menjadi lezat untuk membumbui kehidupan.

Barjo, karipku, dipertemukan dengan Asih calon istrinya juga lewat segelas kopi. Asih mengantarkan nampan minuman ke ruang tamu kala itu. Pandangan mereka dipisah dan diluluhkan pada secangkir kopi di nampan. Temu pertama yang disambut ikrar dihadapan penghulu menjadikan Barjo begitu bangga. Menjadi cerita yang selalu diulang-ulang oleh Barjo setiap kami berkumpul untuk reuni di hari kelima tiap lebaran tiba
, pun aku, dipertemukan dengan RedRose istriku juga lewat secangkir kopi.

Kopi persaudaraan, kopi penghormatan terasa makin langka. Kopi sekarang instan. Sasetan hanya untuk perorangan. Untuk dinikmati dan diseduh sendirian. Dihirup hangat-hangat untuk melepas kepenatan pada sepanjang hari yang melelahkan, saat mengumpulkan uang diperantauan untuk mudik lebaran. Kopi instan, membuat peminumnya tak lagi kecanduan. Faham individual menjadikan kopi sebatas selingan. Tak lagi disruput untuk menghidupkan kejiwaan yang sarat dengan guyub kebersamaan.

Bersih
desa, gotong-royong dimasa aku dulu menghirup aroma bocah. Kini tak menyisakan keakraban antar warganya. Hukum permakluman dan rotasi uang kini yang marak menghiasi dinamika desa kami. Uang menjadi kompensasi lumrah pengganti diri di tiap pertemuan. Hari minggu adalah libur untuk lepas dari segala kepenatan. Uang yang dihasilkan biarlah disisihkan untuk keamanan, petugas kebersihan, dan mengganti kebersamaan dengan orang-orang sekitar.

Teko yang berjalan dengan kesukarelaan saat grebek desa berlangsung hanya sebuah nostalgia. Tanpa komando masyarakat mengikatkan keikhlasan pada kewajiban dan kasih pada orang lain. Kopi mengikat semua dalam jeda dan canda penduduk desa. Istirahat berpeluh keringat melepaskan ego untuk untung perseorangan demi maslahat bersama.

Aku rindu. Kubayangkan istriku akan terlempar ke masa lalu. Ia terdampar di pelosok desa. Berkemben di depan tungku untuk menggoreng kopi kesukaanku. Aroma menyengat menyesakkan biji kopi menguap dari penggorengan tanah yang terbakar api tungku. Asap kemana-mana. Suasana magis menyebalkan akan menyebar ke seantero belahan desa.

Peluh akan meleleh di keningnya. Ia berjongkok. Kadang berdiri. Menutu kopi dengan alu di lumpang batu. Syahdu. Akan kunikmati eksotisme tubuhnya yang meliuk mengayunkan tongkat kayu untuk menumbuk kopi. Kan kupejamkan mata, kusesap habis jiwanya yang larut dalam tumbukan alu dan batu yang berirama. Aroma kelezatan kopi telah mengaliri jiwa sebelum seduhannya disuguhkan. Bubuk hitam tak menitiskan wangi kembang, sebaliknya menitikkan aroma hitam tajam khasnya. Peluh, pengabdian, kerelaan atau mungkin ketiadaan pilihan lain pekerjaan wanita membuatnya mampu meramu segenap rasa pada sejumput halus bubuk kopi yang ia suguhkan.

Pada warung kopi
Bagaimana nanti aku melampiaskan kekangenanku pada Mbok Nah? Janda baya beranak lima yang menggantungkan hidupnya pada warung kopi. Warung bambu usang, dengan sinar listrik temaram. Malam, kami biasa bercengkrama di sana. Pakdhe Marto paling doyan banyol. Paklek Sukro intelektual kuno lulusan Sekolah Ongko Loro zaman Belanda, Sekolah Rakyat. Politik etis penjajah sedikit mencerahkannya, tapi masih dilengkapi mentalitas lama, priyayi ndeso. Beragam orang berkumpul di warung itu tiap malam untuk mengobrolkan tetek bengek kehidupan.

Segelas kopi tubruk atau secangkir kopi lalapan menjadi teman setia kami. Kopi kental, panas dan pahit, disandingkan dengan gula merah di tatakan cangkirnya. Seteguk kopi yang dicegah untuk ditelan. Disisakan dipangkal tenggorokan untuk dipadu dengan segigitan gula merah. Nikmat klasik menyerbu tanpa mampu dicegah. Ketagihan. Disinilah tiap sehabis petang kuhabiskan masa-masa
itu.

Kini, ekstasi segelas kopi menjadi satu obsesi. Melahirkan kerinduan liris. Menyisihkan rasa ngeri demi bertahan menunda kematian menjelang. Harapan tersisa yang harus diperjuangkan. Termasuk mencegah diri untuk tak lagi mencintai minuman berkafein tinggi. Jantungku tak lagi mampu memompa, jika kafein memacu darahku mengalir lebih cepat ke bilik-serambinya.

Kadar gula ini juga harus dijaga. Insulin mesti selalu dinormalkan dalam hitungan yang selalu tepat. Menjauhnya segala nikmat tak membuatku begitu penat untuk menekurinya dalam kedukaan. Wedhang kopi kini kurindui tidak dalam masa tahunan, tiga ratus enam puluh lima hari. Kutafakuri ditiap detik untuk kuharapkan ku
teguk lagi.[]

FILOSOFI TEBU

6 komentar

Guru saya selalu menyampaikan pesan-pesan moral kepada murid-muridnya lewat cerita pendek yang bersahaja dan mudah untuk dipahami. Disamping cerita pendek, Beliau juga menyampaikan tamsilan-tamsilan tentang hakikat dan makrifat dalam bentuk yang sederhana sehingga bisa diterima oleh semua kalangan baik murid lama maupun yang baru. Salah satu cerita yang sering Beliau sampaikan setelah zikir bersama (tawajuh) adalah “Ilmu Tebu”, “Siapa diantara kalian yang belum pernah melihat tebu?” begitulah Beliau membuka cerita setelah terlebih dahulu menyampaikan puji-pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi SAW beserta para sahabat dan pengikut-pengikutnya serta kepada seluruh auliya-auliya akbar. Beliau selalu mengingatkan kami bahwa para Nabi dan para Wali itu tidak pernah mati, mereka hanya berlindung disisi Allah SWT.

Kemudian Beliau bertanya lagi,”Kalau kalian perhatikan tebu, bagian mana yang paling manis, ujungnya atau pangkalnya?”. Serentak murid-murid Beliau menjawab, “Pangkalnya Guru!”.

“Benar, tebu itu yang manis adalah pangkalnya semakin ke ujung maka akan semakin hambar. Coba kalian perhatian tebu apabila ditiup angin. Bagian yang bergoyang mengikuti arah angin adalah pucuknya. Kalau angin datang dari timur maka dia akan menghadap kebarat begitu juga sebaliknya kalau angin datang dari utara maka ujung tebu akan mengikuti arah angin menuju ke selatan. Bagian ujungnya itu tidak ada pendirian, terombang ambing menurut keadaan.”

Guru diam sejenak kemudian Beliau kembali melanjutkan ceramahnya, “Begitulah gambaran orang yang belum menemukan seorang pembimbing rohani, dia akan terus menerus mencari kebenaran tanpa batas waktu padahal umur yang diberikan Tuhan hanya sebentar. Apabila didengar ada ulama A disana keramat maka dia akan ke ulama A, besoknya didengar lagi ada kiayi Z sangat hebat maka dia mendatangi kiayi Z. Orang seperti ini adalah ibarat sama dengan buih di lautan yang akan mengikuti arus laut dan tidak mempunyai pendirian.”

“Seseorang yang telah menemukan kebenaran tidak akan pernah bisa digoyahkan oleh apapun, dia tetap ditempatnya seperti pangkal tebu dan istiqamah dijalan yang ditempuhnya. Inilah orang-orang yang telah diberikan pencerahan dan dibukakan hijab oleh Tuhan”

Begitulah Guru saya bercerita tentang ilmu tebu. Cerita itu sudah lama sekali saya dengar dan sangat membekas di hati. Saya sangat terkesan dengan apa yang Beliau sampaikan karena sebenarnya saya dulunya adalah ujung tebu yang terombang ambing oleh angin. Saya adalah seorang pencari yang tidak mengerti apa yang saya cari sehingga sekian banyak orang saya jumpai namun tidak membuat saya bisa menemukan ketenangan hati apalagi menemukan Tuhan.

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada saya sehingga berjumpa dengan seorang ulama pewaris Nabi, memiliki kekeramatan yang luar biasa sehingga sampai saat ini saya benar-benar terbimbing kejalan-Nya.
Semoga Allah SWT akan membukakan hijab kita untuk menyaksikan kebesaran-Nya dan rawatlah biji zikir yang telah ditanam dalam Qalbu sehingga nanti akan berbuah dan bisa dinikmati oleh sekalian manusia dimuka bumi. Mari kita menebarkan salam dan kebajikan kepada seluruh manusia sebagai bagian dari bakti kasih kita kepada Guru dan sebagai bagian dari amal ibadah kita kepada Allah SWT. Semoga Allah memberikan kesehatan dan umur panjang kepada Ulama Pewaris Nabi sehingga akan terus bisa membimbing dan menuntun kita ke jalan-Nya, Amien Ya Allah, Amien Ya Rahman, Amien Ya Rahim, Amien Ya Rabbal ‘Alamin.

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH

0 komentar

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti”, jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-siapa . “Ya Allah”, seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tldak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya."

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Tadzkiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai shalat isya, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan terjaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desiran angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu".

Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”