Halaman

Menegaskan Kembali Agama

0 komentar

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, baik segi budaya, bahasa, suku maupun agama. Lebih jauh, Indonesia di kenal sebagai Negara yang menghargai perbedaan agama, budaya, dan bahasa. Corak Negara yang di bangun dari pelbagai aspek sosial ini mengantarkan pandangan bahwa Indonesia adalah Negara ramah.
Merujuk Nur Cholis Madjid (2003), kemajemukan atau keanekaragaman di Indonesia berpotensi pada dua hal sekaligus, yakni kekayaan dan kerawanan. Kemajemukan menjadi kekayaan tatkala bisa dipahami dengan baik, penuh kearifan dan memahami hak kewajiban masing-masing pihak. Dalam kondisi seperti ini, kemajemukan menjadi salah satu kunci terpenting untuk menutupi kekurangan masing-masing pihak dalam semangat kebersamaan dan saling melengkapi. Apa yang disampaikan Nabi Muhammad, salah satu modusnya, perbedaan adalah rahmat, harus diletakkan dalam konteks kemajemukan sebagai kekayaan, rahmat bukan kerawanan.
Sebaliknya, kemajemukan tampil sebagai kerawanan manakala antara semua komponen yang ada tidak terjalin relasi kebersamaan yang kokoh. Kemajemukan yang ada sesungguhnya tidak lebih dari sumbu konflik yang dalam keadaan tertentu siap disulut, baik oleh internal masyarakat itu sendiri, atau pun oleh pihak luar.
Keprihatinan di atas terbukti di Indonesia, hanya saja tidak antar agama tetapi pada internal agama. Sekelompok masa Front Pembela Islam (FPI) melakukan penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang meneriakkan tentang kebebasan beragama. Sementara itu, respon penyerangan di atas seakan membuat merinding bulu kuduk kita, khususnya di Daerah Jawa Timur. Di Jember kelompok yang mengatasnamakan Pasukan Berani Mati (PBM) siap hadir ke Jakarta membubarkan FPI. Begitu juga di Banyuwangi, Gresik, Surabaya, dan seterusnya.
Padahal, tindakan intoleransi tersebut tidak pernah dibenarkan dalam agama manapun, sekalipun Islam. Meskipun demikian, dalam pelbagai tindak intoleransi agama senantiasa dijadikan sebagai dasar pembenaran. Akhirnya, apa yang menjadi nilai esensi agama sebagai pengatur kehidupan dan cinta kasih tereduksi oleh kedangkalan akal dalam menafsirkan teks agama.

Menegaskan Term Agama
Faktanya, ada kerancuan pemahaman tentang “agama” dengan “pemikiran agama” yang sifatnya relatif. Pada level tertentu, “paham keagamaan” (fikr al dien) menempati posisi yang paling sentral, karena yang sampai pada masyarakat bukan “agama” (al dien) itu sendiri, melainkan paham keagamaan. Bahkan dalam tataran sosiologis, masyarakat agama-agama dibentuk oleh paham keagamaan itu sendiri. Kenyataan demikian ditandaskan oleh kemunculan berbagai madzhab fiqh yang lahir dari beberapa ulama. Ironisnya, perbedaan fiqh ini mendorong polarisasi masyarakat atas paham keagamaan tersebut. Bukan lantas dijadikan sebagai keniscayaan yang kehadirannya absah. Polarisasi demikian kian tampak dalam dunia Islam yang kerap kali terjadi konflik horisontal antar aliran, semisal Sunni dan Syi’ah.
Konflik demi konflik internal umat Islam ternyata bukan dipicu oleh doktrin agama, tetapi oleh penafsiran agama. Oleh karena itu, penafsiran agama seyogyanya bukan diposisikan sebagai yang paling absah kebenarannya. Dan perlu diketahui, penafsiran agama ini bersifat relatif, bisa salah dan memungkinkan benar. Sehingga, idealnya penafsiran agama tersebut tidak perlu diperjuangkan, apalagi dipaksakan kebenarannya kepada orang lain. Karena, orang lain tidak menutup kemungkinan memiliki penafsiran lainnya.
Kendati demikian, kadang kala bagi kelompok masyarakat tidak pernah mengenal fakta diatas, maka akan dengan mudah “paham keagamaan” dianggap sebagai “agama” itu sendiri. Konsekwensinya pun bisa berakibat fatal, bermuara dari salah senantiasa mengantarkan pada klaim kebenaran (truth of claim). Dan, berawal dari paradigma ini kelak mengantarkan pada praksis agama.
Kenyataan ini bisa kita lihat dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama di Monas beberapa waktu lalu. Kelompok ini hadir di tengah pluralitas penafsiran teks agama (fikr al dien) yang terus berjalan hingga kini. Hanya saja, ia seakan menjadi wakil Tuhan di bumi yang memiliki wewenang menghukumi sesama sekalipun dengan kekerasan. Padahal, manakala kembali pada esensi agama, rangkaian kasus tersebut amat kontraproduksi. Satu sisi, “agama” turun ke bumi ialah pembawa kemaslahatan dan keteraman bagi umat manusia. 
Dalam konteks itu, isu toleransi di Indonesia masih penting dijadikan sebagai agenda kebangsaan. Apalagi di tengah kemajemukan yang kerap kali mendorong pada kekayaan ataupun kerawanan. Lebih-lebih kemajemukan tersebut tak memiliki benteng yang kokoh melindungi keberagaman dan kerahmatan, tak pelak akan mendorong pada perusakan, kerawanan dari sebuah kemajemukan. Ini yang tidak kita harapkan.