Halaman

28 Apr 2010

Dimulai beberapa minggu yang lalu, seorang teman di Facebook tiba-tiba mengirim pesan pribadi yang isinya “apakah kamu pernah menyukai milik orang lain?”.


Dengan asumsi bahwa yang dimaksud “milik” di sini adalah seorang manusia. Maka aku menjawab “pernah”.


Akhirnya sesi kirim-kiriman pesan yang terjadi antara aku sama teman ini jadi seperti curhat curian, yang nyempil diantara beragam pesan, aplikasi dan notifikasi lain di Facebook.


Mungkin karena si teman ini seorang perempuan, dia lebih cenderung ke pikiran baru ke hati, sementara yang aku rasakan malah sebaliknya.


Menyukai milik orang lain memang bukan sebuah tindakan yang benar. Bahkan dalam agamaku, ada larangan yang spesifik tentang “menyukai milik orang lain”. Tapi apa yang bisa kita lakukan bila ini terjadi? Karena kita sedang melawan perasaan.


Masalahnya ini bukan hal yang bisa dikontrol sepenuhnya dengan pikiran, tapi akhirnya juga akan melibatkan hati, seperti yang terjadi sama teman di FB itu.


Meskipun dia berusaha menggunakan otaknya, dengan kesadaran penuh bahwa yang disukainya adalah milik orang lain, sehingga otomatis dia tidak bisa berbuat banyak, tapi perasaan yang katanya seperti teriris, apa bisa dikontrol?


Aku sendiri pernah menyukai “milik” orang lain beberapa tahun yang lalu. Tapi selalu ada kesadaran bahwa itu milik orang lain dan aku tidak berhak atasnya, bagaimanapun, untuk merebut si “milik” ini.


Meskipun dengan keyakinan penuh bahwa aku jauh lebih baik, aku jauh lebih sempurna untuk menjadi pemiliknya, tapi juga dengan sebuah pemahaman bahwa dia sebagai “milik” sudah memilih untuk dimiliki oleh orang lain itu dan bahwa mungkin mereka malah saling menyempurnakan dan mengisi, bagaimana mungkin aku punya nyali untuk merebut posisi sebagai pemilik?


Seperti yang dikatakan si teman di FB, memang terasa sangat sakit. Untuk berada di luar lingkaran dan selalu menjadi seorang “yang lain”. Bahkan jika mungkin, ingin rasanya menarik hati ini keluar lalu mengirisnya dan masih akan terasa jauh lebih tidak menyakitkan dibanding yang mesti dirasakan dengan kondisi yang ada.